Harian Kompas, 26 September 2016
Pekan lalu, pemerintah membuka babak baru investasi sektor hulu minyak dan gas bumi. Langkah ini melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Revisi ini diharapkan bisa menyegarkan kembali iklim investasi hulu migas di Indonesia yang tengah lesu dan menghadapi berbagai tantangan berat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati serta Pelaksana Tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Pandjaitan mengumumkan revisi PP No 79/2010 tersebut. Latar belakangnya, jumlah cadangan minyak bumi di Indonesia yang terus merosot, menyisakan 3,9 miliar barrel. Padahal, belum ada penemuan cadangan minyak besar yang signifikan. Jika tak ada terobosan, pengurasan minyak di Indonesia akan menjadi 400.000 barrel per hari pada 2020 atau setengah dari tahun ini yang sekitar 800.000 barrel per hari.
Selain itu, lokasi dan letak cadangan serta sumber daya migas Indonesia ada di perairan dalam di bagian timur negeri ini. Secara teknis, pengurasan minyak dan gas akan semakin sulit. Sebagai gambaran, perlu ongkos investasi besar, teknologi yang semakin modern, tetapi dengan tingkat kesuksesan pengeboran yang kurang dari 40 persen.
Dengan kondisi tersebut, investor merasa diperberat dengan pengenaan pajak, khususnya pajak pada masa kegiatan eksplorasi yang belum tentu menghasilkan minyak atau gas. Dampaknya, dari catatan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), jumlah kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang beroperasi di Indonesia menurun signifikan. Tahun lalu ada 312 KKKS yang beroperasi, tetapi kini hanya tersisa 288 KKKS. Bahkan, dari 14 wilayah kerja migas yang dilelang tahun ini, baru 4 wilayah kerja yang diminati.
Jika menengok ke belakang, revisi PP di atas sudah sejalan dengan keinginan KKKS yang tergabung dalam Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) yang menginginkan insentif perpajakan. Begitu pula soal skema bagi hasil yang baru, dengan konsep sliding scale, yakni bagi hasil disesuaikan dengan perkembangan harga minyak. Apabila harga minyak meningkat, bagian pemerintah menjadi lebih besar. Begitu pula sebaliknya.
Boleh saja perbaikan-perbaikan itu disambut positif. Namun, pemerintah jangan lupa, selain soal perpajakan yang direvisi, soal perizinan pun tak boleh luput dari perhatian. Selama ini, perizinan menjadi momok bagi investor. Rumitnya perizinan dan berlapis-lapis atau saling tumpang tindih membuat kepala investor pening.
Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Majong mengilustrasikan waktu mengurus izin di Indonesia yang lama dan rumit. Sejak pencarian minyak (eksplorasi) dimulai hingga minyak bisa diproduksi, setidaknya perlu waktu 10-15 tahun!
Mulai dari tingkat pusat sampai daerah, setidaknya ada 341 jenis izin yang diterbitkan 17 instansi. Sebagian izin, terutama di tingkat pusat, sudah disatukan melalui model perizinan satu pintu di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Untuk izin di Kementerian ESDM, pemerintah berupaya memangkas dari 40 izin menjadi 6 izin sampai dengan akhir 2016 ini.
Di tengah situasi sulit seperti saat ini, usaha menarik investasi sebanyak mungkin bisa menjadi tidak menjadi optimal jika proses birokrasi di Indonesia masih kompleks. Harapannya, proses yang bisa disederhanakan sebaiknya disederhanakan saja. Bahkan, yang memungkinkan dihapus sebaiknya hapus saja. Sudah bukan zamannya lagi satire semacam ini, "kalau bisa dipersulit, kenapa mesti dipermudah?"