Harian Kompas, 7 October 2016
Ungkap, tebus, lega. Demikian slogan program pengampunan pajak. Periode pertama sudah usai.
Program pengampunan pajak digelar sembilan bulan, pada Juli 2016 hingga Maret 2017. Setiap tahapan terdiri atas tiga bulan, dengan tarif tebusan yang meningkat secara progresif.
Per 30 September, sebanyak 373.598 wajib pajak menyerahkan surat pernyataan harta dengan deklarasi aset Rp 3.625 triliun. Uang tebusannya mencapai Rp 89,2 triliun.
Namun, konsolidasi data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) itu belum mencakup semua peserta tahap I. Itu karena tidak semua pembayar tebusan langsung menyerahkan surat pemberitahuan harta. Selain itu, sejumlah titik layanan pengampunan pajak di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia memberlakukan protokol darurat karena peserta membeludak.
Satu hal yang dapat dipastikan, sampai dengan 30 September 2016, uang tebusan yang sudah masuk ke kas negara mencapai Rp 95 triliun. Artinya, peserta berikut nilai deklarasinya lebih besar dari yang diunggah dalam situs resmi DJP. Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi bahkan berani memperkirakan deklarasi aset akan mencapai Rp 4.000 triliun.
Namun, pencapaian ini sebaiknya jangan membuat pemangku kepentingan terkait berpuas diri. Sebab, jika ditelisik lebih lanjut, masih banyak wajib pajak kelas kakap yang terindikasi belum melaporkan semua hartanya dan belum mengikuti program pengampunan pajak. Hal ini terlihat dari profil pembayar tebusan terbesar.
Hanya 71 wajib pajak yang membayar uang tebusan mulai dari Rp 50 miliar sampai dengan Rp 100 miliar. Adapun pembayar tebusan Rp 100 miliar ke atas hanya 32 orang. Data ini belum sinkron dengan kajian Bank Dunia yang menyebutkan 1 persen penduduk Indonesia menguasai 55 persen aset nasional.
Mengacu data DJP, dari 373.598 peserta pengampunan pajak periode pertama, hanya 10.890 wajib pajak baru yang terdaftar setelah program. Adapun wajib pajak yang terdaftar pada 2015 dan 2016 sebelum program berjalan adalah 15.856 orang.
Sementara 301.883 wajib pajak atau 80 persen dari peserta pengampunan pajak sudah melaporkan surat pemberitahuan (SPT) dan selama ini membayar pajak. Sebanyak 66.586 wajib pajak sudah melapor SPT, tetapi tidak bayar pajak. Padahal, kelompok orang bekerja dan memiliki penghasilan dan layak bayar pajak diperkirakan Rp 93 juta orang.
Pada 2015, baru sekitar 30 juta wajib pajak yang terdaftar di DJP, yang terdiri dari 2,47 juta wajib pajak badan, 5,24 juta wajib pajak orang pribadi, dan 22,33 juta wajib pajak orang pribadi karyawan.
Soal pembayaran pajak, lebih miris lagi, hanya 1,17 juta wajib pajak yang membayar pajak. Jumlah ini terdiri dari 375.569 wajib pajak badan, 612.881 wajib pajak orang pribadi nonkaryawan, dan 181.537 wajib pajak orang pribadi karyawan.
Jika dicermati lagi, sumbangan Pajak Penghasilan (PPh) dari kelompok orang terkaya di Indonesia masih sangat terbatas. Penerimaan PPh dari wajib pajak orang pribadi nonkaryawan atau pengusaha hanya Rp 9 triliun pada tahun lalu. Sementara pada periode yang sama, penerimaan PPh dari wajib pajak orang pribadi karyawan sebesar Rp 105 triliun.
Dengan demikian, secara garis besar, realisasi tahap I masih sedikit dibandingkan dengan potensi yang ada meskipun pencapaian tersebut di atas proyeksi sejumlah pihak. Oleh sebab itu, apresiasi layak ditujukan kepada DJP dan semua pihak yang terkait dengan program pengampunan pajak.
Namun, pada saat yang sama, DJP juga tidak boleh berpuas diri. Masih ada waktu enam bulan lagi.