Harian Kontan, 17 October 2016
JAKARTA. Pemerintah disarankan meniru Inggris dalam mengejar pajak Google. Selain membenahi aturan perpajakan, upaya mengejar pajak perusahaan internasional ini juga butuh dukungan parlemen.
Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center, Darussalam bilang, selain pemerintah, parlemen juga harus memberikan dukungan politik. "Kita harus berkaca pada Inggris yang membuat aturan yang bisa memaksa Google membayar pajaknya," ujarnya dalam sebuah temu media di Malang, akhir pekan lalu.
Jenis pajak baru yang dipakai Inggris ini adalah diverted profit tax, jenis wajib pajak baru bukan PPh badan. Jenis pajak ini, menurut Darussalam, tidak menyalahi ketentuan penghindaran pajak berganda (P3B). Google dituding sebagai salah satu perusahaan asing yang mengemplang pajak. Tunggakan perusahaan asal AS itu ditaksir mencapai Rp 5,5 triliun dalam kurun 5 tahun terakhir.
Tunggakan perusahaan internet ini ditaksir Rp 5,5 triliun.
Menurut Darussalam, untuk bisa menarik pajak Google, diperlukan UU baru, terpisah dengan UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). "Ini momentum yang tepat karena pemerintah mau mereformasi perpajakan," ungkapnya. Walau pemerintah sudah memaksa Google membuat Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia, nyatanya itu belum efektif menjaring pajak. Sebab BUT tersebut hanya untuk fungsi marketing support.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Dirjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan, sementara pihaknya akan
menggunakan aturan yang ada. Usulan untuk membuat aturan baru untuk perusahaan over the top (OTT), prosesnya masih panjang dan harus dibicarakan dengan DPR. "Kita lihat saja ke depan apakah UU pajak yang ada sekarang diperkuat atau atau mengeluarkan jenis pajak baru seperti itu," ungkapnya. Apalagi persoalan ini sudah dibahas di forum-forum internasional, seperti forum OECD, forum G20.
Darussalam menuding, sejak awal pendirian, perusahaan OTT sudah membuat perencanaan perpajakan internasional untuk menghindari pajak. "Caranya, memilih negara yang nilai pajaknya rendah dan banyak memberikan fasilitas pajak," ujarnya.
Seharusnya, di negara asal, Google dikenakan pajak 35%, namun dengan skema ini, perusahaan itu hanya terkena 2,2%. "Mereka menggunakan skema double irish dutch sandwich tax planning, yaitu memanfaatkan sistem perpajakan negara lain," ujar Darussalam. Untuk itu, Google memilih Irlandia dan Bermuda.
Google juga membagi tiga wilayah yaitu Eropa, Middle East, dan Asia, dan memilih negara dengan tarif pajak paling rendah. Di Asia, Singapura menjadi pilihan. Jika terpaksa dibuat BUT, BUT hanya untuk fungsi penunjang dan pelengkap sedangkan fungsi inti tetap di Singapura.
Dengan tidak adanya fungsi keagenan, kontrak dengan konsumen Indonesia langsung berhubungan dengan Google Singapura. Itu membuat Google merasa Indonesia tidak berhak meminta pajak dari hasil kontrak itu.