Berita Pajak
Integrasi Perpajakan Dan OSS Mendesak
Harian Bisnis Indonesia, 25 October 2019
Pasalnya, Bank Dunia dalam laporan berjudul Doing Business 2020, menempatkan kemudahan berbisnis atau Ease of Doing Business (EoDB) di Indonesia tak beranjak dari peringkat ke-73.
Ekonom Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Fajar B. Hirawan mengatakan, salah satu faktor minimnya investasi yang masuk ke Indonesia adalah sistem perpajakan yang cukup rumit.
Menurutnya, masih cukup banyak investor yang menganggap janji insentif perpajakan seperti tax holiday atau tax allowance hanya ada secara regulasi. Mereka kerap tidak mendapatkan insentif tersebut karena proses yang rumit.
“Bila pemerintah punya niatan baik dan mau menepati janji dalam mem- berikan insentif kepada para investor baru atau lama, sebaiknya diintegrasikan,” tuturnya saat dihubungi, Kamis (24/10).
Pemerintah memang terus membenahi ekosistem investasi. Selain memaksimalkan implementasi OSS, pemerintah juga tengah menyusun dua omnibus law, yakni di bidang perizinan dan perpajakan. Menurutnya, kedua payung hukum ini harus seiring sejalan.
Apalagi, implementasi OSS yang menjadi pintu utama perizinan sejauh ini belum maksimal karena terkendala oleh kebijakan di tingkat pemerintah daerah.
“Menurut saya, omnibus law yang tengah dirancang pemerintah dapat menjadi titik terang dari sektor ini,” kata Fajar.
Senada, Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menilai, sistem administrasi perpajakan di Indonesia masih sangat rumit. Proses ini juga masih terpisah dari pengajuan izin usaha melalui OSS.
“Sebaiknya pembayaran pajak langsung diintegrasikan saja ke OSS. Ini akan mempermudah masuknya inves- tor tanpa harus melakukan beragam proses. Negara lain sudah menjalankan integrasi ini,” tegasnya.
Selain integrasi perpajakan dan perizinan, ketenagakerjaan juga masih menjadi hal yang dikeluhkan oleh investor. Menurutnya, rumusan pengupahan di Tanah Air masih kompleks. Selain itu, kenaikan upah per tahun yang cukup tinggi sering dikeluhan investor asing.
Untuk itu, adanya simplifi kasi terhadap pengupahan perlu dilakukan. Menurutnya, kenaikan upah sebaiknya didasarkan pada perkembangan masing-masing industri, bukan berdasarkan pertumbuhan ekonomi nasional seperti yang dilakukan saat ini.
Selain itu, program peningkatan produktivitas tenaga kerja dengan social development fund juga perlu dilakukan. “Basis pemberian upah juga perlu diubah berdasarkan produktivitas. Jadi, setiap sektor memiliki Key Performance Indicator [KPI].”
INDIKATOR
Dalam laporannya, Bank Dunia menggunakan sejumlah indikator penilaian, salah satunya adalah sistem perpajakan. Faktor lain adalah proses untuk memulai bisnis dan kegiatan perdagangan lintas batas.
Secara peringkat, Indonesia memang tetap berada pada posisi ke-73. Namun Indonesia mencatatkan peningkatan skor yakni dari 67,96 pada tahun lalu menjadi 69,6. Sebab pemerintah telah mengimplementasikan teknologi dalam sistem perizinan.
Lembaga itu secara khusus juga membahas perpajakan di Indonesia yang menjadi lebih mudah berkat sistem pengisian online.
“Indonesia mempermudah proses untuk memulai bisnis dengan memperkenalkan platform online untuk lisensi bisnis dan mengganti sertifikat cetak dengan sertifi kat elektronik,” tulis laporan itu.
Satu-satunya aspek penilaian EoDB yang mengalami penurunan skor serta peringkat adalah registering property yang terkait dengan prosedur, wak- tu, dan biaya untuk mendaftarkan properti. Pada EoDB 2019, skor registering property tercatat mencapai 61,67 dan terletak di peringkat 100.
Pada EoDB 2020, skor registering property tercatat turun menjadi 60 dan peringkatnya pun turun menjadi 106.
Bank Dunia mencatat jumlah prosedur yang dibutuhkan untuk mendaftar properti meningkat dari 5 menjadi 6, waktu yang diperlukan untuk mendaftarkan juga meningkat dari 27,6 hari menjadi 31 hari.
Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator Perekonomian Bambang Adi Winarso mengatakan bahwa hal ini kemungkinan terkait dengan perbedaan referensi harga properti yang dijual.
“Tampaknya ini terkait validasi PPh dari kantor pajak yang butuh waktu karena ada kemungkinan perbedaan referensi harga pasar dari properti yang dijual,” ujarnya.
Hal ini pada akhirnya memperlambat waktu yang diperlukan dalam rangka menentukan pengenaan pajak penghasilan (PPh) dan pengenaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).
Selain itu, ada pula kemungkinan bahwa transaksi tanah pada masa lalu baru dilaksanakan pembalikan namanya sehingga ada potensi perbedaan antara harga beli dengan harga saat balik nama. “Reformasi itu sebenarnya tidak akan pernah berhenti karena adanya dinamika dan tidak bersifat statis,” ujar Bambang.