antaranews.com, 6 Mei 2013
Siang itu, Agus, bukan nama sebenarnya, duduk termenung. Tatapan matanya kosong menerawang menembus jendela kantornya. Beberapa kali terlihat dia menghela napas, lalu kembali tenggelam dalam lamunannya. Teringat di benaknya suppliernya yang kabur beberapa bulan lalu, menyisakan cicilan yang harus dilunasinya hingga beberapa bulan.
Alangkah terkejutnya Agus ketika pagi itu dia menerima secarik surat dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat perusahaannya terdaftar. Setelah berkonsultasi dengan Account Representative-nya, Agus mendapatkan penjelasan yang mencengangkan: suppliernya ternyata penerbit faktur pajak fiktif, dan telah dihukum pidana!
Surat tersebut menyatakan bahwa pengkreditan pajak masukan yang telah dilakukannya dengan faktur pajak yang diterbitkan oleh suppliernya tidak dapat dibenarkan. Selain harus mengembalikan uang Negara yang terlanjur direstitusikan, Agus juga diwajibkan membayar denda 100% dari nilai pajaknya.
Artinya, Agus menanggung dua kerugian, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang telah dipungut oleh suppliernya dinyatakan tidak sah, sehingga dia harus menyetor ulang PPN, serta jumlah denda yang mencapai 100%. Hal inilah yang membuatnya dia resah siang itu.
PPN pada dasarnya dikenakan pada setiap proses produksi Barang Kena Pajak (BKP) maupun Jasa Kena Pajak (JKP), mulai pembelian bahan baku hingga penjualan. Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN dibebankan pada penjual yang disebut sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Penjual menerbitkan faktur pajak, disebut sebagai Pajak Keluaran (PK), dan dikreditkan oleh pembeli sebagai Pajak Masukan (PM).
PKP akan menyetorkan PPN dari PK-nya sekaligus merestitusikan PM-nya. Dengan mekanisme ini, pajak yang dipungut oleh Negara adalah sebesar PK dikurangi PM. Dalam Undang-Undang Nomor 42/2009 tentang PPN, pada pasal 16F dinyatakan bahwa pembeli BKP dan penerima JKP bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak jika tidak bisa menunjukkan bukti pajak telah dibayar. Dengan adanya tanggung jawab renteng ini, penerbit maupun pengguna faktur pajak harus berhati-hati dalam setiap transaksinya.
Tindak pidana perpajakan dalam penerbitan faktur pajak diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) pasal 39A, terkait penerbitan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya atau penerbitan faktur pajak oleh pihak yang belum dikukuhkan sebagai PKP. Pada kasus di atas, supplier dinyatakan bersalah karena menerbitkan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya, sedangkan perusahaan milik Agus dinyatakan bersalah karena menggunakan faktur pajak tersebut dalam pengkreditan PM-nya. Inilah yang dimaksud dengan mekanisme tanggung renteng sebagaimana diatur dalam UU PPN.
Situasi di atas terjadi, ketika semua perusahaan dapat dengan mudahnya menerbitkan faktur pajak. Sering ditemui faktur pajak tidak hanya diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), namun juga diterbitkan oleh Wajib Pajak yang non PKP. Bahkan ada kasus dimana perusahaan atau individu yang belum terdaftar (belum ber-NPWP) turut menerbitkan faktur pajak. Faktur pajak yang diterbitkan oleh non-PKP atau bahwa non-Wajib Pajak, inilah yang dinamakan faktur pajak fiktif.
Selain itu, meski diterbitkan oleh PKP, namun jika transaksi yang tercantum dalam faktur pajak tersebut adalah bukan transaksi yang sebenarnya, faktur pajak juga dilabeli sebagai fiktif. Sebagai contoh, toko pakaian menerbitkan faktur pajak atas transaksi penjualan bahan bangunan, yang mana tidak sesuai dengan transaksi yang sebenarnya.
Akibat penerbitan faktur pajak fiktif, tidak hanya Negara yang dirugikan akibat restitusi pajak, namun juga banyak “Agus” lain, sebagai pengguna faktur pajak, yang turut terkena dampaknya. Sebagai contoh, salah satu kasus faktur fiktif yang diungkap oleh Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Timur, mengakibatkan negara dirugikan sedikitnya Rp 7 miliar (Kompas, 9 November 2012). Dengan kerugian sebesar itu, dapat dipastikan para pengguna faktur pajak harus mengganti kerugian Negara sebesar 2 (dua) kali lipatnya (PPN + denda 100%).
Mengatasi hal tersebut, DJP telah melakukan beberapa pembenahan terkait sistem administrasi PPN. Upaya pertama yang dilakukan DJP adalah penertiban terhadap PKP. Pada tahun 2012 lalu, seluruh KPP diharuskan melakukan pendaftaran ulang PKP dan melakukan verifikasi alamat PKP langsung ke lapangan.
Apabila ternyata PKP tersebut tidak ditemukan di alamatnya, atau PKP tersebut sudah tidak melakukan kegiatan usaha, maka status PKPnya langsung dicabut, dan diumumkan melalui Situs Pajak (www.pajak.go.id). Pengumuman ini dimaksudkan agar PKP lainnya tidak bertransaksi dengan menerbitkan faktur pajak kepada PKP yang sudah dicabut ijinnya.
Kegiatan tersebut membuahkan hasil berupa pencabutan status PKP terhadap lebih dari 300 ribu Wajib Pajak. Upaya ini berhasil meningkatkan penerimaan negara dari sektor PPN di tahun 2012, dari target sebesar Rp 336,1 triliun (APBN-P 2012) terealisasikan sebesar Rp 337,6 triliun. Selain membenahi data PKP, faktur pajakpun dibenahi dan diatur ulang tatacara penomorannya. Terhitung mulai 1 April 2013, penomoran faktur pajak dilakukan secara sentralisasi oleh DJP melalui KPP dimana PKP terdaftar.
Agar dapat dipastikan hanya PKP patuh yang akan memperoleh nomor seri faktur pajak, DJP mensyaratkan agar sebelum memperoleh nomor seri faktur pajak, PKP diharuskan mengajukan permohonan kode aktivasi dan password untuk memperoleh nomor seri faktur pajak.
Kode aktivasi hanya sekali saja digunakan, yakni pada saat mengaktifkan akun, sedangkan password akan digunakan setiap kali pengambilan nomor seri faktur pajak. PKP yang diperbolehkan mengajukan permohonan kode aktivasi dan password, hanyalah PKP yang telah melaporkan SPT Masa PPN untuk tiga masa terakhir. Kode aktivasi akan dikirimkan ke alamat PKP sesuai dengan alamat yang ada di database kantor pajak, sedangkan password akan dikirim melalui email PKP bersangkutan.
Dengan cara tersebut, dipastikan hanya PKP patuh yang jelas keberadaanya akan memperoleh nomor seri faktur pajak yang bersifat unik. Nomor yang dikeluarkan oleh KPP juga bersifat acak, dan tidak perlu digunakan secara berurutan. Hal ini akan mempermudah identifikasi faktur pajak fiktif yang dikeluarkan oleh pihak-pihak yang tidak berhak menerbitkannya.
Hal teknis terkait dengan penomoran faktur pajak yang baru ini dapat dilihat pada PER-24/PJ/2012 dan pembetulannya pada PER-08/PJ/2013. Terhitung mulai 1 Juni 2013, seluruh PKP diharapkan sudah melakukan penomoran faktur pajak sesuai ketentuan terbaru tersebut.