Berita Pajak
Buka Kerahasiaan Bank
inilah.com, 15 Juli 2013
DIREKTUR Jenderal (Dirjen) Pajak Ahmad Fuad Rahmany dan Wakil Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Rahmat Waluyanto saling berjabat tangan dan melempar senyum. Mereka baru saja meneken nota kesepahaman (MoU) untuk kedua institusi ini. Penandatanganan MoU yang disaksikan oleh Menteri Keuangan Chatib Basri dan Ketua OJK Muliaman D Hadad di Auditorium Cakti Buddhi Bhakti, Kantor Pusat Ditjen Pajak, Kamis (4/7) itu, tak begitu banyak diliput oleh wartawan.
Sekilas, tak ada yang istimewa dari isi MoU tersebut, selain mereka sepakat melakukan harmonisasi peraturan perundangan. Tapi kalau dipelototi, ternyata Ditjen Pajak dan OJK akan bertukar informasi tentang data nasabah dan investor keuangan.
Inilah yang bikin geger. Sebab, lewat kesepakatan tersebut, kelak aparat pajak dapat mengakses informasi di sektor perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun, dan lembaga keuangan lainnya yang ada di bawah OJK. Dari informasi itu, aparat pajak akhirnya bisa mengetahui apakah pajak yang mereka bayar sudah sesuai atau belum. Termasuk transaksi-transaksi yang selama ini disembunyikan dari petugas pajak.
Pendek kata, dengan dibukanya akses informasi di sektor jasa keuangan, tak ada lagi celah bagi wajib pajak untuk menghindar dari kewajibannya.
Maklum saja, basis data pajak di sektor ini lemah. Ini pula yang menyebabkan penerimaan pajak tidak optimal.Lihat saja, hingga 28 Juni 2013, penerimaan pajak baru mencapai Rp 411,39 triliun. Angka ini baru 41,3% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013 sebesar Rp 995 triliun.
Memang, hampir saban tahun penerimaan pajak selalu meleset dari target. Tengok saja tahun 2012. Saat itu, realisasi penerimaan pajak hanya mencapai Rp 980,1 triliun alias 3,6% di bawah target yang dipatok pada angka Rp 1.016,2 triliun. Padahal, menurut Dirjen Pajak Fuad Rahmany, saat ini ada sekitar 5 juta perusahaan yang memperoleh laba, tapi yang membayar pajak hanya 520 perusahaan.
Data Ditjen Pajak menunjukkan, saat ini total wajib pajak yang tercatat mencapai 24,8 juta. Jumlah tersebut terdiri dari 22,1 juta orang pribadi, 2,1 juta badan usaha, dan 545.232 bendaharawan.
Nah, lewat MoU antara Ditjen Pajak dengan OJK, target penerimaan pajak bisa dikejar. Memang, potensi pajak di perbankan dan dana kelolaan di lembaga keuangan nonbank sangat besar. Di perbankan, saat ini dana pihak ketiga sudah mencapai Rp 3.294,7 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar 43% di antaranya dimiliki 63.8816 nasabah yang rata-rata menyimpan di atas Rp 5 miliar.
Potensi pajak di lembaga keuangan nonbank juga cukup besar. Per 24 Mei 2013, dana kelolaan di reksa dana mencapai Rp 198,85 triliun, asuransi Rp 112,78 triliun, dan dana pensiun Rp 27 triliun.
Di UKM pun demikian. Saat ini, omzet UKM ditaksir mencapai 30% dari produk domestik bruto (PDB). Dalam APBN-P 2013, PDB nominal Indonesia diperkirakan mencapai Rp 9.270 triliun. Jadi, hitung saja berapa besar pendapatan UKM.
Siap Berikan Informasi
Inilah potensi pajak yang tampaknya bakal dilirik Ditjen Pajak. Tapi pertanyaannya, apakah dengan demikian petugas pajak bisa menerobos kerahasiaan data nasabah bank yang selama ini dilindungi oleh Undang-undang Perbankan? “Rekening bank tidak. Kalau data nasabah, beda,” kata Fuad Rahmany kepada InilahREVIEW (lihat: Buka Kerahasiaan Bank).
Namun, menurut Fuad, kerahasiaan bank sudah ketinggalan zaman. “Di negara lain, sudah enggak ada lagi kerahasiaan bank bagi otoritas pajak,” katanya.
Hanya saja, banyak kalangan khawatir jika kebijakan ini diterapkan akan memicu penarikan dana besar-besaran dari perbankan, pasar modal, asuransi, dan sektor usaha jasa keuangan lainnya. Sektor perbankan bisa goncang jika para orang kaya menarik dananya dan memindahkannya ke luar negeri.
Namun, menurut pengamat hukum perbankan Sutan Remy Sjahdeini, sepanjang UU Perbankan masih ada, kerahasiaan bank tetap berlaku. “Kecuali Menteri Keuangan atau Dirjen Pajak meminta kepada Bank Indonesia. Itu pun harus menyebut nama nasabahnya untuk keperluan apa,” kata Sutan kepada InilahREVIEW.
Hal sama dikatakan Ketua Umum Perbanas, Sigit Pramono. Menurut dia, MoU yang diteken antara Ditjen Pajak dan OJK sah-sah saja sepanjang tidak melanggar ketentuan yang berlaku. “Tapi, kalau petugas pajak mau masuk ke sana (perbankan), ya silakan saja, asal undang-undangnya diubah lebih dulu,” ujarnya.
Sigit mengingatkan kepada Ditjen Pajak dan OJK agar tetap berhati-hati menerapkan sebuah kebijakan. “Kalau tidak hati-hati, bisa saja terjadi apa yang tidak kita inginkan,” kata Sigit kepada InilahREVIEW.
Kalangan bankir sendiri menyatakan siap bekerjasama dengan Ditjen Pajak untuk memberikan informasi data nasabah yang dicurigai ada persoalan pajaknya. "Kami sudah biasa memberikan infromasi nasabah dan nilai transaksi yang dilakukan," kata Kostamin Tayib, Direktur Utama Bank Mega.
Begitu pula halnya dengan Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN), Maryono. "Tapi, kami tidak akan membuka data setiap nasabah, karena mengacu kepada Undang-undang Perbankan dan aturan BI tentang kerahasiaan nasabah," ujar Maryono.
Demi Kepentingan Pajak
Kalau diteliti lebih saksama, sebenarnya tidak ada yang baru dari MoU yang diteken antara Ditjen Pajak dengan OJK. Selama ini Ditjen Pajak atau Menteri Keuangan bisa meminta Bank Indonesia (BI) untuk membuka data nasabah bank yang dianggap punya masalah dengan pajak. Namun, bisik-bisik di kalangan pajak menyebutkan, MoU tersebut merupakan cikal-bakal untuk menghapus UU Perbankan yang melindungi kerahasiaan nasabah bank.
Masuk akal jika ada rencana seperti itu. Sebab, dalam pertemuan para pemimpin negara maju dan berkembang yang tergabung dalam G-20 di London, Inggris, bulan April 2009, diputuskan untuk mengakhiri kerahasiaan bank.
G-20 adalah kumpulan 20 negara maju dan berkembang—Indonesia masuk di dalamnya—yang bertujuan membahas isu-isu penting perekonomian dunia. Selain mendobrak kerahasiaan perbankan, G-20 juga menyepakati untuk menghapus peraturan bebas pajak bagi para penyimpan uang di negara anggotanya.
Keputusan itu diambil G-20 setelah mereka melihat banyak orang kaya berusaha menghindari pajak, lalu menyimpan uang mereka di rekening-rekening yang dirahasiakan oleh perbankan. Para penjahat kerah putih pun ikut memanfaatkan kerahasiaan ini.
Sejak saat itu, negara-negara yang menjadi surga menyimpan uang, seperti Swiss atau Liechtenstein mulai menghapus aturan kerahasiaan bank. “Di luar negeri, kerahasiaan bank sudah tidak berlaku lagi. Di Indonesia belum. Ini harus kita perjuangkan, karena potensi pajaknya gede sekali,” kata Dirjen Pajak Fuad Rahmany.
Menurut Fuad, sampai saat Ditjen Pajak tidak diberi kewenangan membuka kerahasiaan bank. “Hanya boleh kalau lagi ada pemeriksaan dan penyidikan saja. Di negara lain, enggak terbatas hanya saat pemeriksaan dan penyidikan saja,” ujarnya.
Itulah sebabnya, Fuad menginginkan kerahasiaan bank dibuka bagi kepentingan pajak. “Swiss yang dulunya terkenal sangat menjaga kerahasiaan, sekarang saja sudah meninggalkan,” kata Fuad.
Kini, sudah siapkah Indonesia buka-bukaan informasi pajak dan kerahasiaan bank seperti keputusan G-20?