Berita Pajak
Pajak Kesulitan Mengakses Data Properti
Harian Kontan, 20 September 2013
JAKARTA. Upaya Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menguji kepatuhan dan memeriksa perusahaan properti masih menemui kendala. Aparat pajak mengaku kesulitan mendapatkan data-data perusahaan properti. Alhasil, pemeriksaan pajak baru dilakukan sejak awal September 2013 lalu.
Pajak melakukan pemeriksaan kepatuhan lantaran adanya dugaan pengembang properti mengutip pajak penjualan dalam transaksi mereka, berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), bukan nilai transaksi properti yang terjual. Padahal nilai transaksi properti ini jelas jauh lebih tinggi ketimbang NJOP-nya.
Untuk melakukan pemeriksaan, kantor pajak membutuhkan data-data pendukung misalnya data transaksi properti. Data ini hanya bisa dapatkan dari pengembang properti sendiri.
Direktur Jenderal Pajak Ahmad Fuad Rahmany hingga saat ini mengaku ragu apakah para pengembang mau membuka data-data penjualan properti mereka. "Enggak bisa cuma omongan di mulut saja," ujarnya kepada KONTAN, Senin (16/9) di Jakarta.
Kendala inilah yang menghambat petugas pajak di lapangan. Kepala Seksi Hubungan Eksternal Ditjen Pajak Chandra Budi menjelaskan, kantor pajak memerlukan data itu untuk menguji berapa biaya penjualan sebelum dilakukan pemeriksaan.
Chandra mengingatkan salah satu kewajiban wajib pajak atau yang diperiksa adalah memberikan dokumen atau catatan yang diperlukan untuk pemeriksaan, baik itu buku penjualan, kuitansi, ataupun rekening.
Apabila wajib pajak tetap enggan memberikan data tersebut hingga batas waktu tertentu, maka pajak akan menggunakan data yang dipunyai sendiri sebagai acuan. "Yang kami hadapi seperti itu. Ada wajib pajak yang tidak kooperatif, tapi tidak semuanya," terang Chandra, Kamis (19/9).
Meskipun begitu, pengamat pajak dari Universitas Indonesia Gunadi bilang, Ditjen Pajak masih bisa menggunakan data lain sebagai alternatif.
Kantor pajak bisa meminta bantuan dari dinas tata kota untuk mendapatkan gambaran mengenai berapa luas bangunan, nilai pembangunan, dan harga yang ditawarkan.
Dengan data tersebut Ditjen pajak bisa terus melakukan pemeriksaan terhadap kepatuhan para pengembang properti, tanpa harus menunggu data yang diberikan para pengembang. "Kalau menunggu mereka lama dan susah," katanya.
Kepatuhan dari wajib pajak perusahaan pengembang properti ini diharapkan jadi pundi pengganjal kekurangan setoran pajak pada tahun ini. Maklum potensinya kekurangan setoran PPN transaksi properti ini cukup besar, bisa mencapai Rp 30 triliun hingga Rp 40 triliunan per tahun.