Berita Pajak
Pajak Masukan Pengusaha Sawit Tak Bisa Dikreditkan
Bisnis.com, 8 Juli 2014
JAKARTA – Para pengusaha sawit yang sudah menikmati ‘kado awal tahun’ berupa dibolehkannya pajak masukan untuk kebun sawit dikreditkan, kini harus rela mengembalikan ‘kado’ tersebut.
‘Kado awal tahun’ yang diterima para pengusaha sawit itu datang dari PMK No. 21/PMK.011/2014. PMK yang terbit 4 Februari lalu itu merupakan revisi atas PMK No. 78/ PMK.03/2010 yang menurut SE Dirjen Pajak No.SE-90/PJ/2011 melarang pajak masukan kebun sawit dikreditkan.
Kini, Menkeu M. Chatib Basri merevisi lagi PMK yang mengatur tentang penghitungan pengkreditan pajak masukan itu dengan menerbitkan PMK No. 135/PMK.011/2014. PMK terakhir ini menghilangkan dua ketentuan di PMK 21 yang mendasari dibolehkannya pajak masukan kebun sawit dikreditkan.
Pajak masukan adalah pajak pertambahan nilai (PPN) yang telah dipungut oleh pengusaha kena pajak (PKP) pada saat pembelian barang kena pajak atau jasa kena pajak dalam masa pajak tertentu. Pajak masukan dijadikan kredit pajak oleh PKP untuk memperhitungkan sisa pajak yang terutang.
Penerbitan PMK 21 sendiri, berdasarkan catatan Bisnis, tidak dengan sendirinya mencabut SE Dirjen Pajak No.90, meski sejak awal Januari itu isinya sudah tidak sesuai lagi. Pada praktikya, SE tersebut masih berlaku.
Namun, kini, dengan terbitnya PMK 135, simsalabim, SE itu menjadi sesuai kembali. Dalam perjalanannya, SE itu sudah menjadi dasar bagi DJP untuk mengoreksi pajak masukan hasil klaim wajib pajak (WP) yang mengkreditkan pajak kebun.
Meski dilarang SE No.90, WP, atas bantuan-bantuan para konsultan pajaknya, tetap mengkreditkan pajak kebun sawit. Pasalnya, ada SE No.95/PJ/2010 tentang Barang Kena Pajak (BKP) Strategis yang Diekspor.
SE No. 95 ini juga didukung oleh Peraturan Pemerintah No,12 Tahun 2001 dan perubahannya yang mengatur produk BKP strategis. Tak pelak, koreksi dari DJP itu kemudian dilawan WP dengan keberatan dan banding.
Tidak ada keterangan resmi dari Menkeu Chatib ataupun Dirjen Pajak A. Fuad Rahmany atas terbitnya PMK No. 135 yang meminta ‘kado awal tahun’ yang telanjur diterima pengusaha sawit dengan suka cita ini. Tak pula ada penjelasan apakah PMK ini mengonfirmasi bahwa PMK 21 adalah kesalahan.
MENUTUP CELAH
Plt. Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas DJP Wahju Karya Tumakaka mengatakan dihilangkannya dua ketentuan dalam PMK 21 itu lebih dimaksudkan untuk menutup celah adanya pengusaha yang ingin terdaftar sebagai PKP, tetapi sebenarnya tidak berhak.
“Ini untuk mencegah moral hazard dari pemilik kebun, misalnya yang menghasilkan TBS kelapa sawit tetapi tiba-tiba ingin mengolah TBS kelapa sawit itu menjadi minyak kelapa sawit agar memiliki hak memungut PPN,” katanya.
Wahyu menjelaskan berdasarkan UU PPN No. 42/2009, TBS kelapa sawit merupakan bagian dari kategori buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses cuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas, sehingga tidak termasuk dalam BKP.
Alhasil, pengusaha yang menghasilkan BKP tidak dapat terdaftar sebagai PKP. Akan tetapi, pemilik kebun bisa saja memungut pajak masukan apabila mengolah TBS kelapa sawit menjadi minyak kelapa sawit, baik melalui pabrik pengolahan sendiri, maupun titip olah.
Ketentuan tersebut tertuang dalam PMK sebelumnya, yakni PMK No. 21/PMK.011/2014. Dalam PMK tersebut disebutkan, pemilik kebun bisa menitip olah TBS kelapa sawit menjadi minyak kelapa sawit menggunakan pabrik PKP lainnya. Dengan titip olah tersebut, pemilik kebun menjadi termasuk dalam PKP, dan berhak memungut pajak masukan dari pembelian berbagai barang, baik dari keperluan produksi TBS kelapa sawit hingga keperluan produksi minyak sawit.