Berita Pajak
PBB Dihapus untuk Perangi Spekulan
Harian Kompas, 5 February 2015
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional tengah menggodok aturan untuk menghapus Pajak Bumi dan Bangunan serta menetapkan zonasi kisaran harga tanah. Langkah ini bertujuan memerangi spekulan tanah sekaligus menyejahterakan rakyat karena hanya membayar PBB saat pertama kali membeli rumah tinggal.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Mursyidan Baldan di Jakarta, Rabu (4/2), mengatakan, pungutan pajak adalah salah satu instrumen menyejahterakan rakyat yang setara dengan penghapusan untuk meringankan beban masyarakat. Ferry menilai terobosan ini akan membuat negara hadir untuk rakyat.
”Kami sedang menyusun zonasi tanah dengan memberikan batas tertinggi harga tanah agar spekulan tidak berspekulasi dan membuat rakyat kecil tak mampu membeli rumah karena harga tanah semakin mahal,” kata Ferry, yang didampingi Kepala Bidang Hubungan Masyarakat BPN Gunawan Muhammad.
Dia mengingatkan, sesuai dengan Pancasila dan asas agraria, tanah memiliki nilai sosial dan harus membawa kemanfaatan kepada publik. Negara harus memegang kendali agar harga tanah tidak menjadi bahan spekulasi pemilik modal.
Pembebasan PBB juga bisa menekan harga rumah sehingga rumah murah bisa terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Masyarakat juga tidak direpotkan karena tidak perlu membayar PBB setiap tahun, cukup satu kali saat pertama membeli tanah dan rumah hunian.
”Meski demikian, bagi pemilik bangunan komersial, seperti hotel, restoran, dan yang memiliki kegiatan bisnis, sudah sewajarnya tetap membayar PBB,” ujar Ferry. Kepala daerah yang menjanjikan pendidikan dan kesehatan gratis, lanjut Ferry, tentu senang dengan kebijakan ini karena bisa meringankan beban rakyat di daerahnya.
Sumber pendapatan
Namun, Kementerian Dalam Negeri mempertanyakan rencana penghapusan PBB. Pasalnya, PBB merupakan salah satu sumber penting pendapatan asli daerah (PAD) untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah.
”Selain kami mempertanyakan kebijakan itu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional juga harus membicarakan itu dengan pemerintah daerah sebelum kebijakan diberlakukan,” ujar Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Dodi Riyatmadji.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, PBB diputuskan masuk langsung ke kas daerah setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sejak itu, PBB jadi salah satu sumber penting PAD, terutama di kota besar.
Data KPPOD 2013 menunjukkan, PBB berkontribusi 26,97 persen terhadap total pajak daerah dan sebesar 11,44 persen terhadap PAD. ”Oleh karena itu, kalau sekarang ada rencana PBB dihapuskan, jelas daerah bisa marah,” kata Endi.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Syarif Abdullah Alkadrie, mengapresiasi rencana penghapusan PBB. Syarif menilai pemerintah daerah tidak akan mempersoalkan hal ini karena tujuannya meringankan beban rakyat. ”Tentu saja, menteri bersama pemerintah daerah harus bertemu untuk membicarakan hal ini,” ujar Syarief.