Berita Pajak
PPN Listrik Mengarah ke 3.300 KWh
Harian Kompas, 20 February 2015
JAKARTA, KOMPAS — Direktorat Jenderal Pajak mempertimbangkan untuk menggeser sasaran pengenaan Pajak Pertambahan Nilai bagi pelanggan listrik. Keputusan mengenai pajak tersebut akan diumumkan pada akhir Februari.
”Skema awal 2.200 kilowatt jam (kWh) ke atas. Tetapi, dengan adanya masukan, masih bisa berubah. Kalau berubah, mungkin 3.300 kWh ke atas. Kelihatannya mengarah ke situ,” kata Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Irawan di Jakarta, Kamis (19/2).
Selama ini, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hanya dikenakan pada pelanggan dengan daya 6.600 kWh ke atas. Rencana pengenaan PPN 10 persen bagi pelanggan yang menggunakan daya listrik 2.200 kWh ke atas itu disampaikan pertama kali oleh Kementerian Keuangan dalam pembahasan penerimaan pajak Rancangan APBN Perubahan 2015.
Menurut Irawan, belakangan, ada masukan dari berbagai pihak agar pemerintah mengkaji ulang rencana itu. Pertimbangannya, pelanggan kapasitas 2.200 kWh termasuk kelompok ekonomi menengah ke bawah yang pembayaran pajaknya relatif sudah optimal.
Sumbangan kelompok menengah-bawah yang rata-rata karyawan, berupa pajak penghasilan (PPh), mencapai Rp 97 triliun pada 2014. Adapun sumbangan pajak kelompok nonkaryawan tak sampai Rp 5 triliun.
Ketetapan menyangkut listrik harus diatur melalui peraturan pemerintah. Saat ini, menurut Irawan, prosesnya sudah di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Jika PPN dikenakan mulai kapasitas 2.200 kWh, potensi pajaknya sekitar Rp 2 triliun. Namun, jika digeser menjadi 3.300 kWh ke atas, Irawan mengaku belum tahu potensi pajaknya, karena saat ini data pelanggannya sedang dikumpulkan.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustins Prastowwo menyatakan, ruang intensifikasi dan ekstensifikasi lebih banyak pada kelompok kaya. Dengan sistem penilaian mandiri, sulit mengharapkan sumbangan PPh dari kelompok kaya. Dengan demikian, optimalisasinya dilakukan melalui konsumsi. Caranya, dengan mengenakan PPN terhadap barang-barang mewah.