Berita Pajak
Aturan Pajak Jasa Katering Dipertegas
Harian Kontan, 25 February 2015
Ketentuan baru ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 18/PMK.010/2015 tentang Kriteria Jasa Boga atau Katering yang Termasuk dalam Jenis Jasa yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Inti dari beleid yang terbit 2 Februari lalu adalah jasa katering terbebas dari pungutan PPN sebesar 10%.
Cuma sejatinya, pembebasan pajak ini sudah berlaku sejak tahun 2010. Mengacu Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), jasa katering bukan merupakan objek PPN. Sebab, usaha ini sudah terkena retribusi daerah sesuai UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
PMK No 18/PMK.010/2015 juga memuat pengertian mengenai jasa katering. Menurut peraturan ini, jasa katering merupakan jasa penyediaan makanan dan minuman yang dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan, penyimpanan, dan penyajian, lalu disajikan di lokasi yang diinginkan oleh pemesan. Penyajian makanan dan minuman ini bisa dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
Nah, yang tidak termasuk dalam pengertian jasa katering adalah penjualan makanan dan minuman yang dilakukan melalui tempat penjualan berupa toko, kios, dan sejenisnya, baik penjualan secara langsung maupun tidak langsung.
"Kalau di UU PPN dan PPnBM hanya disebutkan jasa boga atau katering, tapi tidak dijelaskan secara detail identifikasinya," kata Irawan, Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak, Senin (23/2).
Akibat tidak ada penjelasan secara detail mengenai jasa katering, ada pemda yang salah menafsirkan. Contoh, menganggap toko kue sebagai bagian dari usaha jasa katering.
"Padahal, toko kue termasuk ritel. Dalam hal ini ritel kena PPN," ujar Irawan. Alhasil, pemilik toko kue bisa terkena pajak dobel. Selain retribusi daerah yang besarnya sekitar 10%, mereka juga dipungut PPN 10%. Pungutan dobel ini yang selama ini dikeluhkan toko kue.
Dengan kelahiran PMK No.18/PMK.010/2015, Ditjen Pajak Berharap berbagai pihak mendapatkan penjelasan lebih gamblang mengenai kriteria jasa boga. Dengan demikian, kesalahpahaman pemungutan PPN dan retribusi daerah tidak terjadi lagi.
Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Jakarta, bilang, memang banyak kasus tarik-menarik antara Ditjen Pajak dan pemda. Bahkan, pelaku usaha cenderung lebih memilih kena retribusi daerah ketimbang PPN. "Karena PPN sistemnya lebih baik dibandingkan pemda, sehingga lebih sulit dipermainkan," ungkap dia.
Jadi, pemerintah memang perlu membuat klasifikasi bidang usaha yang lebih terang. Walhasil, tarik-menarik tersebut bisa terhindarkan.