Berita Pajak
Fokus Kejar Para Pengemplang Kakap
Harian Kompas, 24 March 2015
Realisasi penerimaan pajak sampai dengan pertengahan Maret, sebagaimana disebutkan Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito, sekitar Rp 160 triliun atau 12,34 persen dari target. Ini lebih rendah dari realisasi pada periode yang sama tahun lalu.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo, di Jakarta, Senin (23/3), menyatakan, realisasi penerimaan pajak pada dua bulan pertama 2015 di bawah pencapaian tahun lalu. Januari-Februari 2015, realisasinya Rp 126 triliun. Periode yang sama pada tahun lalu Rp 145 triliun.
Pelambatan ekonomi yang menjadi salah satu faktor penyebab, menurut Prastowo, terjadi lebih cepat dari perkiraan. Dampaknya paling terasa pada Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Pasal 22 impor. Faktor lain ialah depresiasi rupiah yang menekan impor.
Hal yang lebih mengkhwatirkan, menurut Prastowo, ialah tantangan ke depan lebih banyak dibandingkan peluang. Depresiasi rupiah akan terjadi lagi ketika suku bunga di AS naik. Di samping mengganggu impor, ekspor komoditas juga akan terganggu.
Selain itu, kebijakan insentif fiskal yang akan diterbitkan dalam waktu dekat, menurut Prastowo, akan menggerus potensi penerimaan pajak dalam jangka pendek. Kebijakan itu antara lain adalah keringanan dan pembebasan pajak penghasilan badan.
"Tanpa kebijakan strategis dan berdampak luas, rasanya akan berat dalam sembilan bulan ke depan," kata Prastowo.
Rekomendasinya, DJP fokus menyisir pengemplang pajak kakap. Caranya dengan membuka akses data perbankan atas wajib pajak yang sedang diperiksa.
Skemanya didasarkan atas kerja sama pertukaran informasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Operasionalnya, PPATK dan DJP bekerja sama menelusuri indikasi kurang bayar pajak yang nilainya besar. Setelah target muncul, baru meminta OJK membuka akses data ke perbankan guna pemeriksaan.
Skema ini mutlak harus difasilitasi presiden. Payung hukumnya bisa berbentuk peraturan presiden untuk kemudian diturunkan dalam bentuk prosedur operasional standar.
"Kalau bisa dijalankan segera, saya perkirakan ini bisa menyumbang 40 persen dari total penerimaan pajak sampai dengan akhir tahun," kata Prastowo.
Menkeu Bambang PS Brodjonegoro pernah menegaskan, risiko terbesar pada APBN ialah penerimaan pajak. Sebab, saat target tinggi dan capaian rendah, penyesuaian anggaran menjadi konsekuensinya. Secara normatif, penyesuaian itu bisa menambah utang dan membatalkan program yang tidak mengikat.
Target pajak APBN Perubahan 2015 ialah Rp 1.224,72 triliun. Naik 39,69 persen dari realisasi 2014.