Berita Pajak
Reinventing Policy Pajak Sepi Peminat
Harian Kontan, 22 June 2015
Masalah yang terbaru terkait dengan kebijakan penghapusan sanksi administrasi bagi wajib pajak yang melunasi utang pajaknya dan membetulkan Surat Pemberitahuan (SPT) pajaknya alias reinventing policy. Insentif bagi wajib ini berjalan tak efektif. Padahal, kebijakan yang hanya berlaku hingga akhir tahun ini merupakan salah satu jurus andalan Ditjen Pajak untuk mengejar target pajak.
Kebijakan ini dinilai sepi peminat karena wajib pajak menunggu rencana pengampunan pajak atau tax amnesty. Memang, tax amnesty masih wacana, tapi belakangan ini kabar bahwa pemerintah akan menerapkannya semakin kencang berembus.
Asal tahu saja, penghapusan sanksi administrasi berupa bunga 2% per bulan atas utang pajak telah berlaku sejak 13 Februari 2015. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 29/PMK.03/2015 yang menyebutkan penghapusan sanksi dilakukan apabila wajib pajak melunasi utang pajaknya sebelum 1 Januari 2016.
Sayangnya, kedua jurus ini sepi peminat. Pada Kantor Wilayah (Kanwil) Ditjen Pajak Jakarta Khusus, misalnya, belum ada satu pun wajib pajak yang mengajukan dua fasilitas ini. Padahal, Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Khusus berisi wajib pajak orang asing maupun wajib pajak badan yang berstatus Penanaman Modal Asing (PMA).
Artinya, kanwil ini memiliki potensi pajak yang besar. Kepala Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Khusus, M Hanif mengatakan, potensi utang pajak di kantor ini yang dapat dicairkan mencapai Rp 1,3 triliun. "Biasa, wajib pajak PMA ini hitung-hitungan. Saya lihat sendiri dan mereka ingin mengikuti PMK 91. Tapi belum mereka lakukan," kata Hanif, Jumat (19/6) lalu.
Para wajib pajak PMA tampaknya masih bimbang apakah akan memanfaatkan reinventing policy atau menunggu pengampunan pajak (tax amnesty) yang telah didengung-dengungkan pemerintah. Hanif menyebutkan, bahwa wajib pajak lebih tertarik dengan tax amnesty.
Kendati demikian, Hanif masih berharap pada sisa waktu enam bulan ini agar wajib pajak bisa memanfaatkan fasilitas tersebut. "Kami juga sudah sosialisasikan bahwa tax amnesty itu hanya untuk merepatriasi aset di luar negeri," ungkap Hanif.
Salah komunikasi Hal yang sama diungkapkan Kepala Kanwil Ditjen Pajak Bali, Wahju Karya Tumakaka. Pelunasan utang pajak dan reinventing policy belum memiliki daya tarik bagi wajib pajak yang terdaftar di delapan KPP di bawah Kanwil Ditjen Pajak Bali. "Baru ada beberapa yang mengajukan fasilitas penghapusan sanksi pajak, para wajib pajak lebih menunggu fasilitas tax amnesty," ujar Wahyu.
Sebelumnya, sudah ada dua kebijakan perpajakan yang kandas di tengah jalan. Pertama, kebijakan wajib lapor bukti potong bunga deposito.
Kedua, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas layanan jalan tol. Tak heran, sejauh ini kinerja penerimaan pajak masih jauh dari target dan bahkan merosot jika dibandingkan perolehan pada tahun lalu. Hingga 31 Mei 2015, penerimaan pajak hanya mencapai Rp 377,028 triliun atau 29,13% dari target.
Angka ini juga masih lebih rendah 2,44% dibandingkan penerimaan pajak pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Pengamat Pajak Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako menilai, komunikasi pemerintah terhadap wajib pajak tentang keuntungan yang akan diperoleh oleh wajib pajak jika menggunakan fasilitas penghapusan sanksi administrasi sekaligus tata caranya, masih sangat minim. Sebab, selama ini pemerintah hanya mendengungkan bahwa Ditjen Pajak memiliki fasilitas tersebut untuk wajib pajak.
Ronny meramalkan, meski telah meluncurkan kebijakan tersebut, Ditjen Pajak tetap akan kesulitan mencapai target penerimaan tahun ini. Sementara kebijakan tax amnesty juga belum bisa dijadikan tumpuan lantaran belum ada kepastian kapan kebijakan tersebut akan diterapkan.
Bahkan, bukan tidak mungkin tax amnesty menjadi bumerang bagi pemerintah karena konsepnya adalah repatriasi aset. Konsep ini dinilai tidak sesuai harapan wajib pajak.
Sebab, wajib pajak hanya ingin pengampunan dan pengakuan atas asetnya, bukan repatriasi aset.