Berita Pajak
RUU Pengampunan Nasional, Pengamat: Ini Tax Amnesty Plus Plus
tempo.co, 12 October 2015
“Ini RUU salah kaprah, seperti tax amnesty plus plus,” kata Wiko, Sabtu, 10 Oktober 2015.
Wiko menilai langkah negara yang memperluas pengampunan pelaku kejahatan keuangan berpotensi merusak penegakan hukum yang sudah dirintis. Jika draft pengampunan ini lolos, negara bakal dianggap kalah oleh aksi para penjahat keuangan.
Menurut Wiko, ada cara lain bila pemerintah ingin mendongkrak penerimaan lewat pajak. Salah satunya ialah dengan penegakan hukum di sektor pertambangan. Dia menjelaskan dari 10 ribu perusahaan tambang hanya 60 persen yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. Sebanyak 37 persen di antaranya yang melaporkan surat pemberitahuan (SPT) pajak tahunan. “Coba bayangkan berapa potensi pajak yang hilang hanya dari satu sektor saja,” tuturnya.
Alibi pemerintah yang menganggap RUU itu dirancang untuk menarik devisa hasil ekspor di luar negeri dinilai terlalu lemah. Menurut Wiko, pilihan pengusaha menyimpan uang di luar negeri lantaran belum solidnya sistem keuangan Indonesia yang memberikan jaminan kepastian usaha, khususnya bagi para pemilik aset.
Ditambah lagi, Indonesia termasuk negara yang menganut asas devisa bebas. Tak aneh jika banyak pengusaha yang memilih menyimpan dananya di negara surga pajak, seperti Singapura. “Pemerintah seharusnya membenahi dulu hal seperti itu,” kata Wiko.
Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito mengatakan belum tahu bagaimana penerapan UU Pengampunan Nasional itu nantinya. Ditjen Pajak, menurut Sigit, hanya menangani pengampunan pajak sedangkan parlemen menginginkan pengampunan nasional. “Kami harus sinkronisasikan dulu mana yang akan diterapkan, tax amnesty, atau national amnesty,” kata dia.
Sigit menambahkan akan membuat tim teknis khusus untuk mengkaji aplikasi pengampunan nasional. Sebelum adanya pengampunan nasional ada tiga pidana yang tak diampuni pajaknya, yakni perdagangan manusia, narkoba, dan terorisme.
Sementara pelaku tindak pidana korupsi tidak masuk dalam RUU itu. Secara tidak langsung hal ini membuka peluang bagi koruptor untuk mendapatkan fasilitas pengampunan. Peluang ini yang ditentang oleh Wiko karena dianggap akan memberi angin segar bagi koruptor.
Wakil Presiden Jusuf Kalla membantah kalau RUU Pengampunan Nasional dibuat untuk menguntungkan koruptor. Sebaliknya, beleid itu dirancang agar devisa hasil ekspor tak disimpan di luar negeri. RUU itu, menurut Kalla, bersifat pemutihan bukan pengampunan. "Kalau koruptor pasti tak akan diampuni," kata Kalla sebelumnya.
Adanya pemutihan dilakukan karena banyak pengusaha yang menyimpan devisa hasil ekspornya di luar negeri. Para pengusaha melakukan hal tersebut untuk menghindari pajak atau biasa disebut praktek transfer pricing. Praktek itu tak bisa dicegah karena Indonesia menganut asas devisa bebas.