Berita Pajak
Lebih Optimistis di 2016
Harian Kompas, 10 November 2015
Perekonomian Indonesia tahun 2016 terutama akan dipengaruhi belanja pemerintah dan investasi.
Kendati konsumsi rumah tangga melambat dan kinerja ekspor masih turun, perekonomian Indonesia pada triwulan III-2015 masih tumbuh 4,73 persen. Kondisi ini lebih baik dibandingkan dengan triwulan I dan II pada 2015, yakni 4,72 persen dan 4,67 persen.
Namun, realisasi pertumbuhan ekonomi triwulan III-2015 masih lebih rendah dibandingkan dengan triwulan III-2014 yang sebesar 4,92 persen.
Optimisme terhadap kondisi perekonomian 2016 antara lain diungkapkan Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo, Ketua Asosiasi Logistik Indonesia Zaldy Ilham Masita, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David E Sumual, dan pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta A Prasetyantoko dalam kesempatan terpisah, Senin (9/11), di Jakarta.
Agus mengatakan, ekspansi belanja pemerintah dan investasi akan mendorong kondisi perekonomian sektor riil. ”Hingga akhir tahun ini, kondisi perbaikan ekonomi global diperkirakan tidak sebaik harapan. Banyak negara juga mengalami resesi dan pertumbuhan yang stagnan. Namun, Indonesia masih tetap bisa tumbuh. Apalagi, triwulan III-2015 sudah menjadi titik balik dari tren pelambatan pertumbuhan yang selama ini terjadi,” kata Agus saat berkunjung ke Redaksi Kompas.
Bank Indonesia memproyeksikan, inflasi hingga akhir tahun ini di bawah 4 persen sehingga daya beli masyarakat bisa terjaga. Kredit industri perbankan juga mulai membaik meskipun diperkirakan sulit kembali ke level pertumbuhan di atas 20 persen seperti pada 2013. Per September 2015, kredit industri perbankan tumbuh 10,9 persen.
”Tahun ini, kredit industri perbankan kemungkinan akan tumbuh di level 11-13 persen. Tahun depan, kami memproyeksikan pertumbuhan kredit bank 13-15 persen dengan pertumbuhan ekonomi di rentang 5,2-5,6 persen,” kata Agus.
Menurut Zaldy, perbaikan di sektor pengiriman barang sudah terlihat pada Oktober lalu. Hal ini ditandai dengan peningkatan volume dan jenis barang yang dikirim. Sampai September lalu tak terjadi pertumbuhan volume barang secara tahunan. ”Selain pertumbuhan volume barang, jenis barang yang dikirim rata-rata merupakan barang bukan bahan makanan. Artinya, konsumsi masyarakat di luar bahan makanan makin meningkat. Hal itu membuat kami optimistis tahun depan akan lebih baik. Pada Oktober ini, kiriman berupa barang elektronik, telepon genggam, dan produk otomotif meningkat signifikan,” katanya.
Tahun ini, omzet industri logistik Indonesia diperkirakan Rp 1.600 triliun. Zaldy memproyeksikan, industri logistik tumbuh 15 persen tahun depan. Kendati masih ditopang Jawa, industri logistik mulai dipengaruhi pertumbuhan permintaan di Sumatera. Bahkan, menurut Zaldy, belakangan ini pertumbuhan pengiriman barang ke Kalimantan dan Sulawesi lebih tinggi dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya.
Momentum
David menuturkan, triwulan III-2015 menjadi momentum perbaikan ekonomi Indonesia ke depan. Meskipun pertumbuhan ekonomi hanya sedikit lebih baik dibandingkan dengan dua triwulan sebelumnya, titik balik pertumbuhan itu sangat penting bagi kondisi ekonomi ke depan. ”Kalau dilihat per sektor, konstruksi meningkat signifikan, terutama dipengaruhi belanja pemerintah. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga memang masih lebih lambat dibandingkan dengan tahun lalu, tetapi masih cukup kuat dengan pertumbuhan 4,96 persen,” kata David.
Akan tetapi, pertumbuhan konsumsi rumah tangga itu ternyata tidak diikuti pertumbuhan impor.
Menurut David, hal ini bisa menjadi indikator masyarakat mengurangi konsumsi barang impor karena pelemahan nilai tukar rupiah. Masyarakat justru mengalihkan konsumsi ke produksi domestik. ”Kondisi ini menggembirakan bagi industri manufaktur dalam negeri. Kalau permintaan ke industri manufaktur domestik meningkat, ada peluang untuk ekspansi sehingga penyerapan tenaga kerja akan meningkat,” kata David.
Di luar perbaikan belanja pemerintah, investasi, dan konsumsi rumah tangga, kinerja ekspor diperkirakan belum membaik. Hal itu disebabkan Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditas, yang saat ini harganya masih rendah.
Prasetyantoko mengatakan, untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tahun depan, pemerintah harus menjaga daya beli masyarakat. Caranya adalah dengan menjaga inflasi atau meningkatkan pendapatan masyarakat. ”Kalau ekonomi membaik, ada potensi penyerapan tenaga kerja yang lebih besar karena sektor riil bisa ekspansif. Namun, saya melihat ada risiko pada belanja pemerintah tahun depan,” ujar Prasetyantoko.
Belanja pemerintah dan investasi masih tetap menopang pertumbuhan ekonomi tahun depan. Namun, Prasetyantoko khawatir akan ada persoalan pada belanja pemerintah tahun depan, yang dipengaruhi persoalan dalam penerimaan pajak. ”Kalau penerimaan pajak tahun ini meleset lebih dari Rp 200 triliun, hal yang sama bisa terjadi juga tahun depan. Jika itu terjadi, belanja pemerintah harus dikurangi,” kata Prasetyantoko.
Target penerimaan pajak tahun ini sebesar Rp 1.294,3 triliun. Pada 2016, target pajak berdasarkan APBN meningkat menjadi Rp 1.546,7 triliun.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Realestat Indonesia Eddy Hussy mengemukakan, prospek properti terkait erat dengan kondisi perekonomian nasional. Pada saat perekonomian membaik, properti akan tumbuh lebih tinggi. Sebaliknya, jika perekonomian melemah, kondisi properti lebih lesu.
Sementara itu, Director Advisory Services Coldwell Banker Commercial Tommy H Bastamy mengemukakan, paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah diharapkan mendorong investasi dan laju pertumbuhan ekonomi pada tahun depan. Namun, peningkatan perekonomian tidak serta-merta meningkatkan performa sektor properti karena perlu waktu untuk bangkit.
Secara terpisah, Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan Sugiarto Sumas mengatakan, investasi dan belanja pemerintah pada infrastruktur yang terealisasi secara masif pada triwulan IV-2015 menimbulkan optimisme dalam penciptaan lapangan kerja.
Berdasarkan simulasi menggunakan tabel masukan dan keluaran, dampak berganda tenaga kerja Indonesia rata-rata 2,08. Artinya, penyerapan satu tenaga kerja di sektor infrastruktur akan menambah tenaga kerja di semua sektor yang rata-rata mencapai 2,08 kali lipat.
”Penyerapan tenaga kerja secara langsung diperkirakan 270.831 orang. Dengan dampak bergandanya, menyerap lebih dari 563.328 tenaga kerja baru,” kata Sugiarto.