Harian Kontan, 4 March 2016
JAKARTA. Seluruh langkah akan ditempuh pemerintah untuk mengerek penerimaan pajak. Salah satu yang sedang dikaji adalah pengenaan tarif minimum pajak penghasilan (PPh) badan. Dengan adanya tarif minimum PPh badan, tidak ada alasan bagi pengusaha tidak membayar pajak, bahkan saat merugi.
Staf Ahli Bidang Kebijakan Penerimaan Negara Kementerian Keuangan (Kemkeu) Asteria Primanto Bhakti mengatakan, rencana ini akan dimasukan dalam perubahan Undang-Undang tentang PPh. Dengan menerapkan pajak minimum, maka negara tidak akan kehilangan potensi penerimaan pajak meskipun kondisi ekonomi lesu.
Menurutnya di tengah ekonomi yang lesu, biasanya diikuti turunnya profit. Saat itulah perusahaan beralasan tidak dapat membayar pajak, dengan menyerahkan laporan kerugian perusahaan. Seperti diketahui dalam UU PPh saat ini, jika perusahaan mengalami kerugian maka kewajiban WP badan akan tercatat nihil. Saat ini tarif PPh badan adalah 25%.
Tarif jangan terlalu tinggi
Menurut Asteria, konsep pengenaan pajak minimum sudah berlaku di beberapa negara di eropa. Jika usulan ini disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), nantinya besaran pajak minimum yang harus dibayarkan oleh perusahaan ditetapkan berdasarkan penghasilan atau omzet. Atau omzet setelah dikurangi natura atau item yang mengurangi pajak kemudian dikalikan tarif minimum. "Kita masih mengkaji besaran tarifnya," kata Asteria, Kamis (3/3).
Perubahan aturan PPh badan ini menjadi bagian dari rencana pemerintah melakukan perubahan sistem perpajakan nasional. Dengan konsep pajak minimum ini, diharapkan potensi penurunan penerimaan pajak akibat penurunan tarif PPh badan dari 25% menjadi 18% bisa ditutupi. Selain perubahan UU PPh, rencananya pemerintah juga akan merevisi UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) dan UU PPN dan PPnBM.
Pengamat pajak dari Universitas Indonesia Gunadi mengatakan, pengenaan tarif pajak minimum untuk PPh badan memang bisa menjaga penerimaan negara. Namun agar tidak memberatkan pengusaha, tarifnya jangan terlalu tinggi, paling tidak sekitar 1%.
Namun menurut pengamat perpajakan Center for Indonesia Texation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, skema minimum tax ini tidak tepat. Akan lebih baik pemerintah memiliki benchmark setiap sektor industri, agar pengusaha tidak mengajukan alasan merugi untuk menghindari pajak. Dengan data tersebut, jika ada perusahaan yang mengklaim memiliki profit margin di bawah rata-rata, pajak bisa langsung menyelidikinya.