Harian Kontan, 26 April 2016
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) melihat kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty adalah hal lazim dan sudah dilakukan beberapa negara dunia. Namun, menurut BI, pelaksanaan tax amnesty di Indonesia tahun ini akan berbeda karena dekat dengan momentum pelaksanaan Automatic Exchange of Information (AEoI) yang telah disepakati oleh negaranegara G-20.
Apalagi, menurut Gubernur BI Agus Martowardojo, inisiatif itu telah mendapatkan dukungan hampir seluruh negara termasuk negara-negara tax haven. Hanya dua negara yang belum menegaskan sikapnya, yaitu Bahrain dan Panama. "Kesepakatan ini akan membuat mereka yang menyembunyikan harta untuk menghindari pajak makin sempit dan pengap. Ini akan jadi faktor pembeda dari pelaksanan tax amnesty tahun sebelumnya," katanya, Senin (25/4)
Agus, dalam Rapat Dengar Rapat Umum (RDPU) antara Komisi XI dengan BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) memberikan lima catatan atas rencana pengampunan pajak atau tax amnesty di Indonesia.
Lima catatan itu adalah, pertama, tax amnesty harus dirancang sebagai titik tolak dari sistem perpajakan yang baru, melalui rekonsiliasi data atau tax reform.
Kedua, sebelum memberi pengampunan pajak, Ditjen Pajak harus memiliki data akurat dan membangun administrasi pajak yang kuat dan efektif. Tak hanya itu, wajib pajak yang mendapat pengampunan nantinya juga harus diawasi secara ketat.
Ketiga, pelaksanaan pengampunan pajak harus dilakukan secara mendadak dan dalam jangka waktu yang pendek, maksimal satu tahun. Setelah itu harus diikuti peningkatan audit dan pengenaan sanksi yang lebih berat bagi wajib pajak (WP) yang tidak mengajukan pengampunan pajak. Terakhir, langkah pengampunan pajak harus diikuti dengan penegakan hukum yang tegas.
Dalam forum dengan DPR RI itu, Agus mengungkapkan, pelaksanaan pengampunan pajak akan memberikan tambahan penerimaan pajak sebesar Rp 45,7 triliun. Selain itu dana yang masuk dari luar negeri melalui skema repatriasi aset diperkirakan mencapai sekitar Rp 560 triliun.
Jumlah itu lebih rendah dari perkiraan pemerintah sebelumnya yang mengatakan ada potensi tambahan penerimaan pajak sebesar Rp 60 triliun dari tax amnesty.
Selain itu pemerintah juga memproyeksi ada potensi repatriasi aset sebesar Rp 11.450 triliun dari tax amnesty. Ini bukti data negara belum sinkron.