Harian Kontan, 27 April 2016
JAKARTA. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengusulkan adanya kepastian hukum bagi wajib pajak (WP) dalam RUU Pengampunan Pajak atau tax amnesty. Jika WP membawa balik harta yang disembunyikan ke Indonesia, PPATK mengusulkan lembaga penegak hukum seperti KPK, Polri, dan Kejaksaan tidak mengutak-atik WP tersebut.
"Kalau tidak ada pernyataan seperti itu, mereka akan maju mundur. Paling tidak harus ada upaya memberikan kepastian hukum," kata Ketua PPATK M Yusuf Ali dalam rapat dengar pendapat umum RUU Pengampunan Pajak di DPR, Selasa (26/4).
Sementara itu Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Dwi Priyatno mengatakan, ketentuan kerahasiaan data WP yang mengajukan tax amnesty dalam draft RUU Pengampunan Pajak berpotensi menimbulkan ketidaksinkronan.
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 22 ayat 2 dan 3 RUU Pengampunan Pajak. Pasal 22 ayat 2 menyatakan bahwa setiap pejabat yang terkait dengan pelaksanaan UU ini dilarang memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh WP kepada pihak lain.
Sementara itu, Pasal 22 ayat 3 menyatakan bahwa data dan informasi yang disampaikan WP dalam rangka Pengampunan Pajak tidak dapat diminta atau diberikan kepada pihak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan lain, kecuali atas persetujuan WP sendiri.
Sementara dalam RUU Pengampunan Pajak, kerahasiaan data WP bersifat mutlak. Sebab membuka kerahasiaan data wajib pajak dengan alasan apapun dapat dipidana. "Ketentuan itu pada pelaksanaannya akan berpotensi menimbulkan ketidaksinkronan dalam ketentuan beberapa undang-undang," kata Dwi.
UU yang dimaksud, yaitu UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dan UU Perbankan. Kondisi tersebut akan menyulitkan penyidikan tindak pidana perpajakan.
"Para stakeholder yang terkait dengan UU KUP, UU TPPU, dan UU Perbankan perlu memahami bahwa UU Pengampunan Pajak ini bersifat lex specialis," kata Dwi.