Harian Kontan, 29 April 2016
JAKARTA. Rencana pemerintah untuk menerbitkan peraturan (PP) Deklarasi Pajak jika pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak terhambat, tampak cukup serius. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Direktorat Jenderal Pajak Mekar Satria Utama mengaku, saat ini pemerintah sudah menyiapkan PP ini hingga aturan teknisnya.
Tanpa mau mengatakan seperti apa aturan teknis yang dimaksud, termasuk poinpoin pentingnya, Mekar memastikan bahwa PP ini tetap mengacu pada UU perpajakan. "Detailnya nanti saja," kata Mekar, Kamis (28/4) kepada KONTAN. Mekar juga tidak mau menyebut secara spesifik UU perpajakan mana yang dimaksudkan, apakah UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), atau UU yang lain.
Namun jika merujuk pelaksanaan kebijakan serupa di sejumlah negara, aturan deklarasi pajak hampir sama dengan kebijakan Offshore Voluntary Disclosure Program (OVDP). Kebijakan ini bahkan diketahui sudah diterapkan oleh 34 negara dunia.
OVDP merupakan suatu program pengungkapan atau biasa juga disebut deklarasi atas aset-aset wajib pajak yang ditempatkan di luar negeri. Namun aset itu belum dilaporkan untuk tujuan pajak. Hanya saja, berbeda dengan pengampunan pajak atau tax amnesty yang memberikan tarif khusus yang lebih rendah, OVDP memberikan tarif normal seperti yang berlaku di negara bersangkutan. Fasilitas yang diberikan ke wajib pajak yang mengungkap asetnya hanya penghapusan sanksi administrasi.
Belajar dari sejumlah negara seperti Amerika Serikat (AS), maka biasanya aturan OVDP disisipkan di UU terkait pajak secara umum. Tetapi ada juga dengan UU yang berdiri sendiri dan terpisah dengan UU pajak lainnya. Sedangkan di Indonesia, OVDP hampir sama dengan kebijakan penghapusan sanksi pajak atau reinventing policy pada tahun 2015.
"OVDP atau deklarasi pajak ini sebenarnya juga salah satu bentuk pengampunan pajak, cuma tarifnya tetap menggunakan tarif umum pasal 17 UU PPh," kata sumber KONTAN, yang tidak mau dikutip.
Seperti diketahui, reinventing policy atau penghapusan sanksi pajak dilaksanakan merujuk Pasal 36 ayat (1) UU KUP. Berbeda dengan pengampunan pajak, kebijakan ini lebih mengedepankan persamaan perlakuan dalam menghitung pajak terutang. Sebab wajib pajak tetap membayar tarif normal sebesar 25%.
Dengan skema OVDP, potensi penerimaan pajak yang diperoleh pemerintah cukup besar. Apalagi pemerintah bisa menggunakan data Panama Papers atau data internal Ditjen Pajak yang katanya lebih valid dari Panama Papers.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) Suahasil Nazara mengaku masih akan tetap fokus membahas RUU tax amnesty bersama DPR. Dengan begitu dia belum mau berspekulasi mengenai rencana dikeluarkannya PP deklarasi pajak, seperti dikatakan oleh Presiden Joko Widodo.
Ia berharap pembahasan RUU tax amnesty bisa berjalan lancar dan bisa disahkan pada akhir Mei nanti. Masa sidang DPR akan berakhir pada hari ini, 29 April 2016. Dengan berakhirnya masa sidang itu maka DPR akan memasuki masa reses. Suahasil berharap pembahasan bisa terus dilakukan meski reses, apalagi sebelumnya Ketua Komisi XI DPR Ahmadi Noor Supit mengaku sedang mempertimbangkan menggeser untuk masa reses.
Kemarin, Rabu (28/4) malam, Komisi XI DPR melanjutkan pembahasan dengan agenda penyampaian Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Tax Amnesty.