Harian Kompas, 27 May 2016
Penyamaran Identitas Jadi Modus Penghindaran Pajak
JAKARTA, KOMPASMulai 2020, semua korporasi di sektor ekstraktif harus melaporkan identitas pemilik utama atau pemilik paling hulu dalam rantai bisnis. Sejalan dengan itu, pemerintah harus sudah menuntaskan peta jalan menuju transparansi kepemilikan korporasi pada 2017.
"Transparansi harus mencakup seluruh rantai usaha, hulu sampai hilir. Paling sulit di sisi hulu. Siapa pemilik korporasi yang sebenar-benarnya. Ini yang paling berat," kata Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Kementerian Koordinator Perekonomian Montty Girianna dalam sambutannya pada lokakarya, Kamis (26/5), di Jakarta.
Lokakarya bertema "Kepemilikan Utama". Acara digelar Kementerian Koordinator Perekonomian dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional didukung Natural Resources Governance Institute (NRGI) dan Bank Dunia.
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan, sumber daya alam digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Industri ekstraktif adalah industri yang bahan bakunya diambil langsung dari alam.
"Perlu meyakinkan semua pemangku kepentingan agar melaporkan identitas pemilik korporasi sesungguhnya. Ini tantangan karena pasti tidak semua mau menerapkan," kata Montty.
Dari sisi pemerintah, tambah Montty, banyak aspek harus dilakukan, di antaranya penyesuaian regulasi dan kebijakan.
Indonesia adalah satu dari 51 negara yang berkomitmen menerapkan Inisiatif Transparansi Industri Ekstraktif (EITI). Semula inisiatif ini dicetuskan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
Berdasarkan kerangka waktu, pemerintah harus memastikan semua korporasi di bidang minyak, gas, dan pertambangan melaporkan pemilik korporasi yang sesungguhnya mulai 2020. Ini berlaku bagi korporasi yang sedang mengajukan penawaran dalam lelang kontrak karya, beroperasi, atau menanamkan modal di proyek ekstraktif Indonesia. Laporan mencakup identitas pemilik seperti nama, warga negara, dan negara domisili.
Kehilangan
Mengutip laporan NRGI, negara-negara berkembang kehilangan sekitar 1 triliun dollar AS per tahun akibat korupsi dan praktik ilegal lain. Banyak di antaranya melibatkan modus korporasi yang menyamarkan pemilik sesungguhnya.
Mengacu data Badan Pusat Statistik dan Bank Indonesia, sekitar 1.000 korporasi di Indonesia menikmati keuntungan Rp 1.387 triliun dari bisnis di bidang minyak, gas, dan pertambangan pada 2014. Namun, sumbangan terhadap penerimaan pajak hanya Rp 96,9 triliun atau 6,9 persen dari keuntungan. Kontribusi terhadap total penerimaan pajak hanya 9,4 persen. Salah satu penyebab utamanya, ketiadaan informasi akurat tentang pemilik korporasi yang sesungguhnya.
Senior Governance Officer NRGI Erica Westenberg dalam paparannya menyatakan, banyak korporasi menyamarkan identitas pemilik korporasi yang sesungguhnya. Ada sejumlah skenario yang intinya membuat kepemilikan berlapis-lapis dengan struktur yang kompleks.
"Kenapa transparansi kepemilikan yang sesungguhnya penting? Sebab, struktur kepemilikan yang kompleks bisa digunakan untuk korupsi dan penghindaran pajak," kata Erica.
Direktur Pemeriksaan dan Riset Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana memaparkan penghindaran pajak yang masif dengan modus kepemilikan yang disamarkan. Seorang wajib pajak, misalnya, melaporkan total aset Rp 6 triliun, padahal sebenarnya Rp 17 triliun.
Ada juga perusahaan yang pembayaran pajaknya selama lima tahun Rp 2,5 miliar. Penelusuran PPATK menunjukkan, perusahaan itu seharusnya membayar Rp 225 miliar untuk Pajak Pertambahan Nilai saja.