Harian Kontan, 24 June 2016
JAKARTA. Pengusaha gerah pasca keluarnya data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atas tunggakan royalti, pembagian hasil tambang, dan iuran pengusaha tambang. Mereka mengklaim: sudah patuh membayar kewajibannya.
Pengusaha tambang pemegang Perjanjian Karya Pengusaha Batubara (PKP2B) dan Kontrak Karya (KK) ogah disebut penunggak pajak dan iuran. Selama ini, pembayaran pajak dan iuran sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati dalam kontrak.
PKP2B Generasi I semisal, memegang aturan nail down yang artinya tidak bisa dikenakan aturan perpajakan yang terbit belakangan pasca kontrak diteken. "PKP2B Generasi I punya keistimewaan. Itu insentif untuk menarik investasi, jadi tarif pajak tetap selama masa kontrak berjalan," tandas Deputi Direktur Eksekutif Asosisi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia.
Seperti diberitakan Harian KONTAN edisi Rabu (23/6) ada 74 PKP2B yang belum membayar kewajiban PNBP: iuran tetap sebesar US$ 617.175. Kemudian Royalti Rp 3,06 triliun dan US$ 1,154 miliar. Serta Pembagian Hasil Tambang yang mencapai Rp 678,12 miliar dan US$ 167.18 juta. Sementara tunggakan dari KK: US$ 1,2 juta iuran tetap dan royalti US$ 19,8 juta.
Hanya, Febriati Nadira, Head of Corporate Communication PT Adaro Energy membantah pihaknya kurang bayar setoran. "Tidak benar Adaro menunggak royalti," ungkap dia kepada KONTAN, Kamis (23/6). Pun Rubi Purnomo Jurubicara Newmont Nusa Tenggara juga menyatakan, pihaknya sudah membayar semua tagihan bahkan sampai Q1-2016. "Kami selalu membayar kewajiban royalti tiap kuartal," ujarnya.
Dalam penelusuran KONTAN, sengketa pajak ini terjadi karena perubahan aturan perpajakan pemegang PKP2B Generasi I dan pemegang KK tahun 1980-an. Perlakuan mereka berbeda dengan PKP2B Generasi II dan III.
Misal, sejak 2008-2012, 5 PKP2B Generasi I dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penjualan batubara. Padahal di kontrak mereka menyebutkan, perusahaan PKP2B generasi I tak bisa dikenakan pajak lainnya selama masa kontrak (nail down).
Dalam perjalannya, PKP2B akhirnya tetap membayar PPN dengan harapan bisa direstitusi. Sayang PKP2B Generasi I itu sulit
minta restitusi PPN ke kantor pajak. Alhasil perusahaan memotong setoran royalti kepada pemerintah yang seharusnya di bayar 13,5% dari hasil penjualan.
Mereka mengklaim pemotongan royalti ini seizin Kementerian Keuangan dengan adanya surat bernomor S/349/ PJ/2014 perihal Penyampaian Hasil Perhitungan Kembali Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Kontraktor PKP2B Generasi I dan Tindak Lanjut Penyelesaian Permasalahan Penahanan Dana Hasil Produksi Batubara kepada pengusaha PKP2B tertanggal 22 Desember 2014.
Namun, Dirjen Minerba masih bersikeras soal itu. Informasi yang diperoleh KONTAN, menyebutkan bahwa Direktorat Jenderal Minerba hingga kini ngotot menghitung kekurangan kewajiban PNBP dari 2008-2012 ke lima perusahaan PKP2B Generasi I. Bahkan, saat ini yang sudah ditagihkan baru PNBP 2011-2012. Khusus perhitungan 2008-2010 belum ada, sehingga Dirjen Minerba belum menagih ke 5 perusahaan PKP2B Generasi I itu.
Jurubicara Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama irit bicara soal sengketa dengan perusahaan tambang ini. "Saya mesti cek dulu," ungkap dia singkat.
Namun, sumber KONTAN dari pelaku bisnis batubara menyebut, hingga saat ini Direktorat Jenderal Pajak memang tidak pernah menyepakati adanya pemotongan tarif royalti dengan alasan tak bisa melakukan restitusi PPN.
Sementara Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menyebutkan, hingga kini pihaknya masih menunggu penghitungan resmi dari auditor pemerintah yakni Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk memastikan mana yang menjadi tunggakan pajak. "Kan ada kewajiban perusahaan membayar dan ada juga pada Generasi 1 kewajiban untuk restitusi. Jadi masih dihitung," ungkap dia. Kamis (23/6).
Gatot membenarkan bahwa pemerintah sudah mengirim surat resmi kepada 5 PKP2B, yakni Adaro, Berau Coal, KPC, Arutmin, dan Kideko Jaya Agung. Isi suratnya adalah menagih tunggakan royalti untuk tahun 2011-2012.