Artikel Keuangan
Penggunaan mata uang Rupiah dalam kaitannya dengan UU No. 7 tahun 2011
1. Penggunaan Mata Uang Rupiah
Dengan disahkan nya UU No. 7 Tahun 2011 (“UU 7/2011”) tentang Mata Uang dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 31 Mei 2011, maka segala transaksi yang terjadi di wilayah Indonesia diwajibkan menggunakan mata uang Rupiah. Setiap pelanggaran dari Undang-Undang ini akan diancam sanksi pidana.
Hal ini diatur dalam UU 7/2011 pasal 21 ayat (1) yang menyatakan bahwa:
Rupiah wajib digunakan dalam:
a. | setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran; |
b. | penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau |
c. | transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
2. Pengecualian Kewajiban Penggunaan Rupiah
a. Pengecualian Terhadap Jenis Transaksi Tertentu
Dalam Undang-Undang ini juga memberikan beberapa pengecualian untuk beberapa transaksi tertentu, seperti yang dijelaskan dalam pasal 21 ayat (2) berikut:
Kewajiban sebagaimana dimaksud pada pasal 21 ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. | transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara; |
b. | penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri; |
c. | transaksi perdagangan internasional; |
d. | simpanan di bank dalam bentuk valuta asing; atau |
e. | transaksi pembiayaan internasional. |
b. Penaman Modal Asing
Dalam UU No. 25 Tahun 2007 pasal 8 ayat (3) tentang penanaman modal menyatakan bahwa untuk penanam modal diberi hak untuk diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing, antara lain terhadap:
a. | modal; | |
b. | keuntungan, bunga bank, deviden, dan pendapatan lain; | |
c. | dana yang diperlukan untuk: | |
1) |
pembelian bahan baku dan penolong, barang setengah jadi, atau barang jadi; atau |
|
2) |
penggantian barang modal dalam rangka melindungi kelangsungan hidup penanaman modal; |
|
d. | tambahan dana yang diperlukan bagi pembiayaan penanaman modal; | |
e. | dana untuk pembayaran kembali pinjaman; | |
f. | royalti atau biaya yang harus dibayar; | |
g. | pendapatan dari perseorangan warga negara asing yang bekerja dalam perusahaan penanaman modal; | |
h. | hasil penjualan atau likuidasi penanaman modal; | |
i. | kompensasi atas kerugian; | |
j. | kompensasi atas pengambilalihan; | |
k. | pembayaran yang dilakukan dalam rangka bantuan teknis, biaya yang harus dibayar untuk jasa teknik dan manajemen, pembayaran yang dilakukan di bawah kontrak proyek, dan pembayaran hak atas kekayaan intelektual; dan | |
l. | hasil penjualan aset sebagaimana dimaksud pada pasal 8 ayat (1), yang menyebutkan bahwa penanaman modal dapat mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak yang diinginkan oleh penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
c. Pajak dan Pembukuan
Selain itu untuk tujuan pembukuan atau pajak Menurut Permenkeu 196/PMK.03/2007 pasal 2, Wajib Pajak dapat menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan satuan mata uang selain Rupiah yaitu bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat.
Dalam Permenkeu 196/PMK.03/2007 pasal 3 huruf (a), Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi: Wajib Pajak dalam rangka penanaman modal asing yang beroperasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan penanaman modal asing.
Dalam Permenkeu 196/PMK.03/2007 pasal 4 ayat (1), penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat oleh Wajib Pajak harus terlebih dahulu mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan, kecuali bagi Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya atau Wajib Pajak dalam rangka Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
Dalam Permenkeu 196/PMK.03/2007 pasal 4 ayat (2), izin tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperoleh Wajib Pajak dengan mengajukan surat permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah, paling lambat 3 (tiga) bulan:
a. | sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut dimulai; atau |
b. | sejak tanggal pendirian bagi Wajib Pajak baru untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak pertama. |
3. Sanksi
Dalam UU 7/2011 pasal 33 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang tidak menggunakan Rupiah dalam:
a. | setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran; |
b. | penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau |
c. | transaksi keuangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). |
Dalam UU 7/2011 pasal 33 ayat (2), setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Dalam UU 7/2011 pasal 39 ayat (1), pidana yang dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan ketentuan ancaman pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada pasal 33 di atas ditambah 1/3 (satu per tiga).
Dalam UU 7/2011 pasal 39 ayat (2), dalam hal terpidana korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mampu membayar pidana denda, dalam putusan pengadilan dicantumkan perintah penyitaan harta benda korporasi dan/atau harta benda pengurus korporasi.
Dalam UU 7/2011 pasal 39 ayat (3), selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 33, pasal 34, pasal 35, serta pasal 36, atau pasal 37, setiap orang dapat dikenai pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau perampasan terhadap barang tertentu milik terpidana.
4.Implikasi
Seperti yang telah dijelaskan dalam UU 7/2011 pasal 21 ayat (1) tentang kewajiban penggunaan mata uang Rupiah untuk transaksi tertentu dan pengecualiannya dalam pasal 21 ayat (2), maka dalam hubungan dengan kegiatan perusahaan dimana terdapat berbagai macam transaksi, baik itu operasional maupun kontraktual, maka yang perlu diperhatikan sesuai dengan ketentuan adalah (a) setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menggunakan mata uang Rupiah dan (b) pengecualian dalam transaksi perdagangan internasional. Transaksi perdagangan internasional dapat diartikan sebagai transaksi perpindahan barang (berwujud atau tidak berwujud) dan/atau jasa dan disertai dengan pembayaran yang melewati batas negara. Untuk transaksi perdagangan internasional tersebut dapat menggunakan valuta asing, demikian juga sebaliknya apabila transaksi dilaksanakan di dalam wilayah Indonesia, maka harus menggunakan mata uang Rupiah.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan transaksi harus menggunakan mata uang Rupiah adalah untuk prosedur pembayarannya, sedangkan untuk tarif dapat menggunakan valuta asing.
Secara umum UU 7/2011 masih belum memberikan penjelasan secara spesifik, sehingga mungkin dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda, maka merujuk pada Ketentuan Penutup (pasal 47) peraturan perundang-undangan sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus sudah ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan (28 Juni 2011). Diharapkan dengan adanya peraturan pelaksana tersebut maka pembatasan dalam penggunaan mata uang Rupiah dapat diatur secara tegas.
5. Rekomendasi
Agar dalam setiap transaksi pembayaran yang dilakukan dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia menggunakan mata uang Rupiah, kecuali untuk transaksi perdagangan internasional.
- Tim SCG -