Peraturan Pajak
PMK 146/PMK.011/2013 PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 154/PMK.03/2010 TENTANG PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAYARAN ATAS PENYERAHAN BARANG DAN KEGIATAN DI BIDANG IMPOR ATAU KEGIATAN USAHA DI BIDANG LAIN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 146/PMK.011/2013
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
154/PMK.03/2010 TENTANG PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN
PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAYARAN ATAS PENYERAHAN
BARANG DAN KEGIATAN DI BIDANG IMPOR ATAU
KEGIATAN USAHA DI BIDANG LAIN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang | : | a. | bahwa ketentuan mengenai pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.011/2012; |
b. | bahwa dalam rangka menyelaraskan dengan ketentuan perpajakan bagi Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi sesuai kontrak bagi hasil serta bidang pengusahaan panas bumi sesuai kontrak kerjasama pengusahaan sumber daya panas bumi, dan perlunya menyesuaikan ketentuan mengenai pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.011/2012 sebagaimana dimaksud dalam huruf a; | ||
c. | bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain; |
Mengingat | : | PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 154/PMK.03/2010 TENTANG PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAYARAN ATAS PENYERAHAN BARANG DAN KEGIATAN DI BIDANG IMPOR ATAU KEGIATAN USAHA DI BIDANG LAIN. |
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.011/2012, diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 3 ayat (1) diubah sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: | ||||
Pasal 3 | |||||
(1) | Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22: | ||||
a. | Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan; | ||||
b. | Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak Pertambahan Nilai: | ||||
1. | barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik; | ||||
2. | barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia yang diakui dan terdaftar dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang tata cara pemberian pembebasan bea masuk dan cukai atas impor barang untuk keperluan badan internasional beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia; | ||||
3. | barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana; | ||||
4. | barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum; | ||||
5. | barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; | ||||
6. | barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya; | ||||
7. | peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah; | ||||
8. | barang pindahan; | ||||
9. | barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan kepabeanan; | ||||
10. | barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum; | ||||
11. | persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara; | ||||
12. | barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara; | ||||
13. | vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN); | ||||
14. | buku ilmu pengetahuan dan teknologi, buku pelajaran umum, kitab suci, buku pelajaran agama, dan buku ilmu pengetahuan lainnya; | ||||
15. | kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, kapal angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya; | ||||
16. | pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan pesawat udara yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan atau reparasi pesawat udara kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga nasional; | ||||
17. | kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero), dan komponen atau bahan yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero), yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana yang akan digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero); | ||||
18. | peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Kementerian Pertahanan atau TNI untuk penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan untuk mendukung pertahanan Nasional, yang diimpor oleh Kementerian Pertahanan, TNI atau pihak yang ditunjuk oleh Kementerian Pertahanan atau TNI; dan/atau | ||||
19. | barang untuk kegiatan hulu Minyak dan Gas Bumi yang importasinya dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama. | ||||
c. | Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali; | ||||
d. | Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai | ||||
e. | Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, berkenaan dengan: | ||||
1. | pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah; | ||||
2. | pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah; | ||||
3. | pembayaran untuk: | ||||
a) | pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-benda pos; | ||||
b) | pemakaian air dan listrik | ||||
4. | pembayaran untuk pembelian minyak bumi, gas bumi, dan/ atau produk sampingan dari kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi yang dihasilkan di Indonesia dari: | ||||
a) | kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama; atau | ||||
b) | kantor pusat kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama; | ||||
5. | pembayaran untuk pembelian panas bumi atau listrik hasil pengusahaan panas bumi dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang usaha panas bumi berdasarkan kontrak kerja sama pengusahaan sumber daya panas bumi; | ||||
f. | Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor; | ||||
g. | Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS); | ||||
h. | Penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri yang dilakukan oleh industri otomotif, Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor, yang telah dikenai pemungutan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan peraturan pelaksanaannya. | ||||
(2) | Pengecualian dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tetap berlaku dalam hal barang impor tersebut dikenakan tarif bea masuk sebesar 0% (nol persen). | ||||
(3) | Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf f dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. | ||||
(4) | Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, huruf g, dan huruf h dilakukan tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB). | ||||
(5) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dan ayat (2) dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang tata caranya diatur oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktur Jenderal Pajak. | ||||
2. | Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 10A sehingga berbunyi sebagai berikut: | ||||
Pasal 10A | |||||
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e angka 4 dan angka 5 berlaku sejak ditetapkannya Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.011/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain. |
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
pada tanggal 4 November 2013
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MUHAMAD CHATIB BASRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 November 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN