a.
|
Direktur Intelijen Perpajakan atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan Status Suspend untuk menonaktifkan sementara Sertifikat Elektronik Wajib Pajak terhadap Wajib Pajak Terindikasi Penerbit.
|
b.
|
Yang dimaksud dengan menonaktifkan sementara Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah menonaktifkan sementara akun Pengusaha Kena Pajak (PKP) pada aplikasi e-faktur Wajib Pajak.
|
c.
|
Dalam rangka penentuan Wajib Pajak Terindikasi Penerbit perlu dilakukan analisis terhadap indikasi awal bahwa Wajib Pajak sebagai penerbit Faktur Pajak Tidak Sah, antara lain berupa:
1)
|
Wajib Pajak belum dikukuhkan sebagai PKP namun menerbitkan Faktur Pajak;
|
2)
|
Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan Wajib Pajak Terindikasi Penerbit atau Wajib Pajak Penerbit;
|
3)
|
Wajib Pajak yang Faktur Pajak keluarannya belum atau tidak dilaporkan di dalam SPT Masa PPN namun sudah dikreditkan oleh lawan transaksi;
|
4)
|
Wajib Pajak yang:
a)
|
akta pendirian badan hukumnya disahkan oleh dan dibuat di hadapan notaris yang sama dengan yang digunakan oleh Wajib Pajak Terindikasi Penerbit atau Wajib Pajak Penerbit atau notaris yang sama dengan yang digunakan oleh satu atau beberapa Wajib Pajak lain;
|
b)
|
pendiriannya pada waktu yang bersamaan atau berdekatan dengan satu atau beberapa Wajib Pajak lain; atau
|
c)
|
memiliki alamat kedudukan atau kegiatan usaha yang sama dengan satu atau beberapa Wajib Pajak lain; dan/atau
|
d)
|
memiliki pengurus yang sama dengan pengurus Wajib Pajak Terindikasi Penerbit atau Wajib Pajak Penerbit atau pengurus yang sama dengan satu atau beberapa Wajib Pajak lain.
|
|
5)
|
Wajib Pajak yang memiliki kegiatan usaha tidak wajar, dengan karakteristik antara lain:
a)
|
Wajib Pajak Non-Efektif (NE) tiba-tiba kegiatan usahanya aktif dan melakukan penyerahan yang terutang PPN dalam jumlah besar;
|
b)
|
Wajib Pajak melakukan penyerahan terutang PPN yang tidak sebanding dengan jumlah modal atau jumlah harta perusahaan;
|
c)
|
Wajib Pajak melakukan penyerahan terutang PPN yang tidak sebanding dengan jumlah karyawan yang bekerja pada perusahaan;
|
d)
|
Wajib Pajak melakukan penyerahan terutang PPN yang sangat beragam sehingga tidak diketahui dengan pasti kegiatan usaha utama Wajib Pajak tersebut;
|
e)
|
Wajib Pajak memiliki persediaan besar namun tidak memiliki gudang atau tidak terdapat biaya sewa gudang;
|
f)
|
Wajib Pajak yang sebagian besar pembeliannya adalah impor namun kegiatan penyerahannya tidak sesuai atau tidak berhubungan dengan barang yang diimpor; dan/atau
|
g)
|
Wajib Pajak yang melakukan penyerahan BKP namun tidak sesuai atau tidak berhubungan dengan barang yang dibeli;
|
h)
|
Wajib Pajak yang memiliki rasio laba usaha bersih (net profit margin) sangat kecil.
|
|
6)
|
Wajib Pajak yang memiliki administrasi pelaporan pajak dengan karakteristik antara lain:
a)
|
Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN dengan status Lebih Bayar dan dikompensasikan ke masa pajak berikutnya secara terus-menerus, namun:
(1)
|
Wajib Pajak bukan Wajib Pajak yang baru berdiri;
|
(2)
|
Wajib Pajak tidak sedang berinvestasi pada barang modal;
|
(3)
|
tidak terdapat peningkatan persediaan yang signifikan; dan/atau
|
(4)
|
Wajib Pajak tidak melakukan, atau melakukan dengan jumlah persentase yang kecil, atas:
(a)
|
penyerahan yang terutang PPN namun tidak dipungut;
|
(b)
|
penyerahan ekspor; dan/atau
|
(c)
|
penyerahan kepada Pemungut PPN;
|
|
|
b)
|
Wajib Pajak memiliki penyerahan terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam jumlah besar namun secara konsisten PPN Kurang Bayar yang dibayar atau disetor kecil;
|
c)
|
Wajib Pajak melakukan pembetulan SPT Masa PPN yang mengakibatkan jumlah Pajak Keluaran menjadi lebih besar namun diimbangi juga dengan penambahan Pajak Masukan yang besar sehingga tidak mengubah PPN Kurang Bayar yang telah dilaporkan atau menambah PPN Kurang Bayar tetapi nilainya kecil; dan/atau
|
d)
|
Wajib Pajak rutin menyampaikan SPT Masa PPN namun tidak atau kurang patuh dalam menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, Pasal 23 dan/atau Pasal 26, Pasal 25, Pasal 4 ayat (2), dan/atau SPT Tahunan PPh.
|
|
7)
|
terdapat IDLP yang mengindikasikan Wajib Pajak telah atau sedang atau akan menerbitkan Faktur Pajak Tidak Sah.
|
|
d.
|
Untuk mendapatkan keyakinan yang memadai, terhadap Wajib Pajak yang memenuhi indikasi sebagaimana dimaksud pada huruf c harus dilakukan penelitian lebih lanjut atas kriteria sebagai berikut:
1)
|
keabsahan dokumen identitas Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak;
|
2)
|
keberadaan Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak dan kesesuaian atau kewajaran profil Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak;
|
3)
|
keberadaan dan kewajaran lokasi usaha Wajib Pajak; dan
|
4)
|
kesesuaian kegiatan usaha Wajib Pajak.
|
|
e.
|
Penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf d dapat dilakukan melalui:
1)
|
kunjungan (visit) ke tempat Wajib Pajak, alamat domisili Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak;
|
2)
|
pemeriksaan lapangan;
|
3)
|
konfirmasi kepada instansi atau pejabat berwenang;
|
4)
|
kegiatan intelijen perpajakan; dan/atau
|
5)
|
pengamatan.
|
|
f.
|
Penelitian keabsahan dokumen identitas Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d angka 1) dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1)
|
melakukan pengecekan terhadap keabsahan:
a)
|
dalam hal Wajib Pajak adalah Orang Pribadi:
(1)
|
data dan/atau informasi pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) Wajib Pajak dan data dan/atau informasi pada Kartu Keluarga atas nama Wajib Pajak, bagi Warga Negara Indonesia (WNI), seperti Nomor Induk Kependudukan (NIK), tanggal lahir, dan foto diri; atau
|
(2)
|
data dan/atau informasi pada Paspor yang masih berlaku, bagi Warga Negara Asing (WNA);
|
|
b)
|
dalam hal Wajib Pajak adalah Badan:
(1)
|
akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi Bentuk Usaha Tetap (BUT);
|
(2)
|
data dan/atau informasi pada KTP dan Kartu Keluarga atas nama pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak dalam hal pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak merupakan WNI; dan/atau
|
(3)
|
data dan/atau informasi pada Paspor pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak yang masih berlaku dalam hal pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak merupakan WNA;
|
|
|
2)
|
dokumen identitas Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak tidak dapat diyakini keabsahannya, antara lain dalam hal:
(a)
|
NIK dan informasi yang ada pada KTP Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak pada Masterfile Wajib Pajak tidak ditemukan atau tidak sesuai dengan data NIK dan informasi pada database nasional kependudukan;
|
(b)
|
data dan/atau informasi di dalam KTP Wajib Pajak, dan Kartu Keluarga atas nama Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak, seperti seperti NIK, tanggal lahir, dan foto diri, berbeda dengan data dan/atau informasi pada database nasional kependudukan;
|
(c)
|
Paspor Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak tidak ditemukan atau tidak sesuai dengan data yang ada di instansi atau pejabat berwenang;
|
(d)
|
data akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan tidak terkonfirmasi (tidak ditemukan atau tidak sesuai) dengan Data Perseroan Terbatas pada instansi berwenang misalnya, Listing Perusahaan Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Direktori Notaris Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dalam hal Wajib Pajak adalah Perseroan Terbatas (PT);
|
(e)
|
data akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan tidak terkonfirmasi (tidak ditemukan atau tidak sesuai) dengan data dan/atau informasi pada register notaris atau notaris pengganti, dalam hal Wajib Pajak adalah badan yang pendirian atau perubahannya melalui akta notaris;
|
|
|
g.
|
Penelitian keberadaan Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak dan kesesuaian atau kewajaran profil Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d angka 2) dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1)
|
melakukan pengecekan terhadap alamat berdasarkan identitas (KTP, Kartu Keluarga, atau Paspor) maupun alamat tempat tinggal sebenarnya dari Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak;
|
2)
|
melakukan pengecekan terhadap kewajaran atau kesesuaian profil Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak;
|
3)
|
keberadaan, kewajaran, dan kesesuaian profil Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak tidak dapat diyakini, antara lain dalam hal:
a)
|
alamat sebenarnya Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak tidak ditemukan atau tidak diketahui keberadaanya;
|
b)
|
pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak yang tercantum dalam akta pendirian atau perubahan bukan orang yang nyata-nyata mempunyai kewenangan dalam melakukan pengurusan kegiatan Wajib Pajak;
|
c)
|
pekerjaan nyata atau sebenarnya pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak tidak mencerminkan profil wajar dirinya sebagai pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak;
|
d)
|
nama atau jabatan pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak tidak sama atau tidak saling bersesuaian di antara beberapa dokumen Wajib Pajak seperti akta pendirian atau perubahan, Surat Pemberitahuan, dan/atau Laporan Keuangan;
|
e)
|
nama atau jabatan pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak tidak sama atau tidak saling bersesuaian antara dokumen Wajib Pajak dengan pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak sebenarnya di tempat kegiatan usaha Wajib Pajak;
|
f)
|
pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Penyidikan atau Penuntutan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan untuk kasus penerbitan Faktur Pajak Tidak Sah; dan/atau
|
g)
|
pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak telah terbukti bersalah dan telah mendapat putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap untuk kasus penerbitan Faktur Pajak Tidak Sah.
|
|
|
h.
|
Penelitian keberadaan dan kewajaran lokasi usaha Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d angka 3) dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1)
|
melakukan pengecekan terhadap alamat lokasi usaha Wajib Pajak berdasarkan Masterfile Wajib Pajak pada sistem informasi di Direktorat Jenderal Pajak;
|
2)
|
melakukan pengecekan kewajaran lokasi dan tempat atau bangunan yang digunakan untuk usaha Wajib Pajak;
|
3)
|
keberadaan dan kewajaran lokasi usaha Wajib Pajak tidak dapat diyakini, antara lain dalam hal:
a)
|
lokasi usaha Wajib Pajak tidak ditemukan keberadaannya;
|
b)
|
Wajib Pajak memiliki alamat lokasi usaha yang sama dengan satu atau beberapa Wajib Pajak lainnya; dan/atau
|
c)
|
lokasi usaha Wajib Pajak sering berpindah-pindah alamat atau sering mengajukan permohonan perpindahan alamat lokasi usaha atau tempat kedudukan.
|
|
|
i.
|
Penelitian kesesuaian kegiatan usaha Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d angka 4) dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1)
|
melakukan pengecekan kebenaran adanya kegiatan usaha Wajib Pajak;
|
2)
|
melakukan pengecekan kesesuaian kegiatan usaha sebenarnya/nyata Wajib Pajak dengan Kelompok Lapangan Usaha (KLU) pada Masterfile Wajib Pajak pada sistem informasi di Direktorat Jenderal Pajak;
|
3)
|
kesesuaian kegiatan usaha Wajib Pajak tidak dapat diyakini, antara lain dalam hal:
a)
|
lokasi usaha Wajib Pajak tidak mencerminkan kegiatan dan besaran usaha wajar Wajib Pajak;
|
b)
|
tempat/bangunan kegiatan usaha tidak mencerminkan kegiatan dan besaran kegiatan usaha Wajib Pajak;
|
c)
|
Wajib Pajak secara nyata-nyata tidak memiliki kegiatan usaha; dan/atau,
|
d)
|
kegiatan usaha sebenarnya atau nyata Wajib Pajak tidak sesuai dengan KLU pada Masterfile Wajib Pajak di Direktorat Jenderal Pajak.
|
|
|
j.
|
Hasil Penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf e selanjutnya dituangkan dalam Lembar Hasil Penelitian Indikasi Penerbit berdasarkan:
1)
|
hasil penelitian indikasi penerbit;
|
2)
|
hasil Pengembangan dan Analisis IDLP;
|
3)
|
hasil pengembangan Pemeriksaan Bukti Permulaan Wajib Pajak lain;
|
4)
|
hasil pengembangan Penyidikan Wajib Pajak lain;
|
5)
|
informasi yang diperoleh pada saat Wajib Pajak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan; atau
|
6)
|
informasi yang diperoleh pada saat Wajib Pajak sedang dilakukan Penyidikan,
|
yang merupakan dasar penetapan status Suspend Wajib Pajak.
|
k.
|
Dasar penetapan status Suspend sebagaimana dimaksud pada huruf j berisi indikasi sebagaimana dimaksud pada huruf c dan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf d.
|
l.
|
Terhadap Lembar Hasil Penelitian Indikasi Penerbit sebagaimana dimaksud pada huruf j yang memenuhi kriteria status Suspend ditindaklanjuti dengan Usulan Wajib Pajak Memenuhi Kondisi Status Suspend atau Usulan Wajib Pajak Sedang atau Telah Dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan/Penyidikan Untuk Ditetapkan Status Suspend.
|
m.
|
Penetapan status Suspend sebagaimana dimaksud pada huruf k dilakukan melalui Keputusan Direktorat Jenderal Pajak tentang Penetapan Status Suspend yang ditandatangani oleh Direktur Intelijen Perpajakan untuk dan atas nama Direktur Jenderal Pajak.
|
n.
|
Berdasarkan Keputusan Direktorat Jenderal Pajak tentang Penetapan Status Suspend sebagaimana dimaksud pada huruf m, Wajib Pajak dengan Status Suspend dapat menyampaikan klarifikasi kepada Kepala Kanwil DJP sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2017 tentang Perlakuan terhadap Penerbitan dan/atau Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah oleh Wajib Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2018.
|
o.
|
Klarifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf n, dapat dilakukan oleh Wajib Pajak sepanjang terhadap Wajib Pajak tersebut belum dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Penyidikan.
|
p.
|
Kepala Kanwil DJP melakukan penelaahan atas klarifikasi Wajib Pajak untuk mengabulkan atau menolak klarifikasi Wajib Pajak tersebut dan memberikan usulan kepada Direktur Intelijen Perpajakan untuk mencabut status Suspend atau mencabut pengukuhan PKP.
|
q.
|
Klarifikasi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf p dikabulkan, dalam hal Wajib Pajak:
1)
|
tidak memenuhi indikasi sebagai Penerbit Faktur Pajak Tidak Sah; dan
|
2)
|
tidak memenuhi kriteria penetapan status Suspend sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2017 tentang Perlakuan terhadap Penerbitan dan/atau Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah oleh Wajib Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2018
|
|
r.
|
Dalam hal Wajib Pajak Terindikasi Penerbit sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Penyidikan, maka:
1)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) DJP meminta informasi, bukti dan/atau keterangan kepada Wajib Pajak atau Pengurus dan/atau Penanggung Jawab Wajib Pajak serta pihak-pihak yang terkait indikasi sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam huruf d segera setelah Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan Status Suspend ditetapkan;
|
2)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan atau PPNS DJP dapat menyampaikan usulan kepada Direktur Intelijen Perpajakan, melalui Direktur Penegakan Hukum atau Kepala Kanwil DJP untuk mencabut status Suspend terhadap Wajib Pajak, paling lama 60 (enam puluh) hari kalender sejak Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan Status Suspend dikirimkan kepada Wajib Pajak dalam hal informasi, bukti dan/atau keterangan yang diperoleh dari Wajib Pajak atau Pengurus dan/atau Penanggung Jawab Wajib Pajak serta pihak-pihak yang terkait menunjukan bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi kondisi status Suspend;
|
3)
|
informasi, bukti dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud pada angka 2) dituangkan dalam Lembar Hasil Penelitian Indikasi Penerbit dan disampaikan kepada Direktur Intelijen Perpajakan;
|
|
s.
|
Klarifikasi Wajib Pajak Terindikasi Penerbit sebagaimana dimaksud pada huruf n atau usulan dari Pemeriksa Bukti Permulaan atau PPNS DJP sebagaimana dimaksud pada huruf r menjadi dasar untuk:
1)
|
mencabut status Suspend; atau
|
2)
|
mengusulkan pencabutan pengukuhan PKP.
|
|
t.
|
Usul pencabutan pengukuhan PKP juga dilakukan dalam hal Wajib Pajak Terindikasi Penerbit dengan Status Suspend tidak menyampaikan klarifikasi atau Pemeriksa Bukti Permulaan atau PPNS DJP tidak menyampaikan usulan pencabutan Status Suspend.
|
u.
|
Direktur Intelijen Perpajakan menyampaikan usulan kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar untuk mencabut pengukuhan PKP atas Wajib Pajak dengan status Suspend dalam hal:
1)
|
Wajib Pajak atau Pengurus dan/atau Penanggung Jawab Wajib Pajak tidak menyampaikan Klarifikasi setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak Keputusan Direktorat Jenderal Pajak tentang Penetapan Status Suspend dikirimkan kepada Wajib Pajak atau menyampaikan Klarifikasi namun hasil penelaahan Klarifikasi ditolak; atau
|
2)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan atau PPNS DJP tidak menyampaikan usulan pencabutan status Suspend Wajib Pajak setelah jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak Keputusan Direktorat Jenderal Pajak tentang Penetapan Status Suspend dikirimkan kepada Wajib Pajak.
|
|
v.
|
Kepala KPP berdasarkan usulan sebagaimana pada huruf u melakukan pencabutan pengukuhan PKP sesuai dengan tata cara pendaftaran dan pemberian nomor pokok wajib pajak, pelaporan usaha dan pengukuhan pengusaha kena pajak, penghapusan nomor pokok wajib pajak dan pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak, serta perubahan data dan pemindahan wajib pajak.
|
w.
|
Tata Cara Penanganan Wajib Pajak Terindikasi Penerbit sebagaimana tercantum pada Lampiran I huruf A yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
|