Harian Kontan, 1 November 2016
BPK sedang mengaudit selisih PPN yang bisa ditarik lagi dan tunggakan royalti
JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, ada tagihan negara berupa Dana Hasil Produksi Batubara (DHPB) atau royalti hasil tambang dari lima perusahaan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi pertama. Jumlahnya sekitar Rp 21 triliun.
Besaran angka itu merupakan angka valid hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM masih menimbang, apakah tunggakan royalti itu wajib dibayarkan atau tidak.
Pasalnya, dalam Undang-Undang Perpajakan mengatakan, kontrak-kontrak pajak yang muncul kemudian hari merupakan beban pemerintah yang harus di reimburse.
Menurut Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian ESDM, Mochtar Husein, angka Rp 21 triliun tersebut sengaja ditahan lima perusahaan PKP2B. Perusahaan merasa memiliki hak juga terkait dengan reimburse Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang mestinya dibayar oleh pemerintah.
Angka tunggakan royalti itu mulai tahun 2008-2012. Nah, dalam perjalanan ada perubahan aturan, muncul Peraturan Pemerintah No. 144 tahun 2009 tentang PPN, yang menyebutkan, batubara merupakan barang kena pajak.
Ditambah lagi pajak bahan bakar kendaraan Bermotor (PBBKB) yang ditanggung oleh perusahaan PKP2B. "Angka tersebut valid dan diaudit oleh BPK," terang Mochtar, Senin (31/10).
Untuk menengahi tunggakan royalti dengan PPN yang bisa di reimburse, BPK melakukan audit kembali antara selisih PPN dengan kewajiban royalti lima perusahaan tambang kakap itu. "Nah PPN yang mereka (perusahaan PKP2B) klaim untuk di reimburse itu masih diaudit BPK ," ungkapnya.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menambahkan, ada perusahaan yang memang menunggak royalti. "Bisa dilihat lima perusahaan generasi satu itu siapa saja, sebut saja Adaro dan lainnya," ungkap dia.
Namun, dalam kontrak PKP2B Generasi I tidak mengenal adanya aturan PBBKB. "Yang ada hanyalah iuran pembangunan daerah (Ipeda). Dan itu sudah mengcover seluruh pajak," urainya.
Head of Coorporate Comunication Division PT Adaro Energi Tbk Febriati Nadira membantah Adaro menunggak royalti batubara. Dia menandaskan bahwa Adaro menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan patuh pada aturan. "Kami menyetor penuh DHPB atau royalti dan penjualan hasil tambang sesuai ketentuan dalam perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan batubara antara Pemerintah Indonesia dan Adaro," terangnya kepada KONTAN, Senin (31/10).
Dengan demikian, jelas bahwa Adaro bukanlah merupakan penunggak royalti sebagaimana yang diberitakan. "Sebaliknya, Adaro pada tanggal 5 April 2016 lalu, memperoleh penghargaan dari Direktorat Jenderal Pajak sebagai wajib pajak yang berkontribusi signifikan, patuh dan kooperatif," terang Nadira.
Jurubicara Bumi Resources Dileep Srivastava belum menanggapi konfirmasi dari KONTAN. General Manajer Corporate Communication PT Berau Coal Energy Tbk Singgih Widagdo juga belum menjawab konfirmasi yang diajukan KONTAN