Berita Pajak
Angsuran Mengacu Kondisi WP
Harian Bisnis Indonesia, 1 October 2019
Dalam surat tersebut, Dirjen Pajak melihat penghitungan angsuran PPh pasal 25 perlu memperhatikan sejumlah aspek. Salah satunya kondisi WP terkait penghasilan neto dan dasar penghitungan angsuran.
Otoritas Pajak menganggap pembayaran angsuran PPh pasal 25 tidak disetarakan. Sebab, setiap WP memiliki kondisi yang berbeda-beda. Misalnya, tingkat kerugian fiskal yang dapat dikompensasikan, mendapatkan fasilitas pengurang penghasilan neto, serta mendapatkan fasilitas pengurangan tarif 50%.
“Setiap WP berbeda-beda sesuai dengan kondisinya. Ada yang memiliki kompensasi kerugian fiskal ada yang tidak,” kata Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga, Senin (30/9).
SE itu adalah aturan pelaksana PMK No.215/2018 tentang penghitungan angsuran PPh dalam tahun pajak berjalan oleh WP baru, Bank, BUMN, BUMD, WP masuk bursa, WP lainnya, hingga WP orang pribadi pengusaha tertentu.
Beleid yang diterbitkan akhir 2018 itu bertujuan agar pembayaran PPh Pasal 25 yang dilakukan WP sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.
Otoritas mencontohkan dasar penghitungan angsuran WP bank. Penentuan besaran angsuran dihitung dari penghasilan neto komersial yang tercantum dalam laporan keuangan bulanan.
Adapun penghasilan neto komersial yang digunakan untuk menghitung angsuran PPh pasal 25 tidak termasuk penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh WP, penghasilan yang dikenai PPh final atau bukan objek PPh, dan biaya terkait penghasilan yang bersifat final atau bukan objek PPh yang dilakukan secara proporsional atau berdasarkan pembukuan yang terpisah.
Sementara itu, kerugian fiskal yang dapat dikompensasikan dalam menghitung angsuran didasarkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan.
“Ada WP yang 2018 rugi sehingga punya kompensasi fiskal ke 2019. Ada WP yang tidak, jadi hitungan angsuran PPh pasal 25-nya berbeda.”
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo, mengatakan ketentuan baru ini lebih fleksibel. Di sektor perbankan misalnya, dulunya menggunakan dasar penghitungan laporan keuangan triwulanan.
Akibatnya, perubahan penghitungan angsuran tidak fleksibel. “Sekarang lebih fl eksibel dan mencerminkan kondisi sesungguhnya.”