Harian Kontan, 23 May 2016
JAKARTA. Koalisi masyarakat yang mengatasnamakan Pejuang Hak Pangan Rakyat menggugat Undang-Undang (UU) Nomor 42/2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) ke Mahkamah Konstitusi.
Mereka menggugat Penjelasan Pasal 4A ayat 2 huruf b dalam UU yang merupakan perubahan ketiga UU Nomor 8 tahun 1983 itu. Bunyi penjelasan itu adalah barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat hanya terdiri dari 11 komoditas. Komoditas itu antara lain beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging segar, telur, susu, buah-buahan dan sayuran.
Pasal 4A sendiri menyebutkan, jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang hasil pertambangan atau l pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering. Juga uang, emas batangan, dan surat berharga.
Kuasa hukum penggugat, Silviana menuturkan, penjelasan pasal itu telah mengurangi dan melanggar hak konstitusional masyarakat. Alasannya, banyak komoditas pangan pokok seperti kentang, terigu dan gandum, yang sangat dibutuhkan masyarakat menjadi mahal dan sulit dibeli masyarakat karena terkena PPN ataupun PPnBM.
Penjelasan pasal itu juga berpotensi menimbulkan diskriminasi. "Beras, jagung, sagu tidak kena PPN, tetapi singkong, kentang, terigu kena PPN. Itu diskriminasi, bagaimana mungkin suku yang makan singkong kena PPN, beda dengan beras dan jagung, padahal sama masyarakat Indonesia," katanya, akhir pekan lalu
Dengan alasan itu Pejuang Hak Pangan Rakyat meminta MK mengabulkan gugatannya dengan menyatakan penjelasan Pasal 4 A ayat 2 huruf b UU PPN Barang dan Jasa dan PPnBM tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Para penggugat juga menuntut agar penafsiran frasa "barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak"
dalam penjelasan pasal tersebut diubah menjadi "barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak adalah barang pangan yang berasal dari hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan dan air yang diambil langsung dari sumbernya atau diolah sebatas kegiatan paska panen dan bukan hasil proses pengolahan."
Atas gugatan itu, Hestu Yoga Saksama, Direktur Humas Ditjen Pajak belum bisa berkomentar banyak. "Perlu cek dulu," kata dia.