Berita Pajak
Pembahasan Bisa Tuntas Akhir Mei
Harian Kompas, 29 April 2016
Fraksi-fraksi juga sudah menyampaikan daftar inventarisasi masalah (DIM). Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016 pun bisa dibahas awal Juni.
Komisi XI DPR menggelar rapat kerja dengan Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro, Kamis (28/4), di Jakarta. Agendanya adalah penyampaian DIM tentang RUU Pengampunan Pajak dari fraksi-fraksi.
Namun, masa sidang DPR III akan berakhir Jumat ini. Selanjutnya, DPR akan reses pada 30 April sampai 17 Mei. Dengan demikian, Komisi XI DPR secara efektif baru akan mulai membahas RUU Pengampunan Pajak per 18 Mei.
Total masa sidang IV-2016 sekitar 2,5 bulan. Namun, Ahmadi berharap pembahasan RUU Pengampunan Pajak bisa tuntas akhir Mei. Dengan demikian, pemerintah bisa segera menyusun RAPBN-P 2016 dengan sudah memperhitungkan tambahan penerimaan dari hasil tebusan program pengampunan pajak. Pembahasan RAPBN-P ditargetkan bisa mulai awal Juni.
Empat pasal jadi sorotan
Ahmadi memperkirakan pembahasan akan berjalan lancar. Pertimbangannya, fraksi-fraksi tidak banyak menyampaikan persoalan dalam DIM. Dari 27 pasal dalam RUU Pengampunan Pajak, hanya empat pasal yang diperkirakan akan mendapatkan sorotan. Sisanya umumnya tidak menimbulkan perdebatan. Empat pasal yang dimaksud antara lain menyangkut tarif dan implikasi hukum.
Sementara itu, menanggapi pemerintah yang menyiapkan Peraturan Pemerintah tentang Deklarasi Pajak, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, skenario tersebut amat lemah secara hukum dan merepotkan secara administrasi. Dengan demikian, program akan gagal jika payung hukumnya berbentuk peraturan pemerintah.
Sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo sebelumnya, pemerintah menyiapkan PP Deklarasi Pajak. Ini sebagai antisipasi jika pembahasan RUU Pengampunan Pajak di DPR tidak kunjung tuntas.
Secara hukum, ujar Prastowo, PP itu tidak mempunyai dasar hukum lebih tinggi. Ini disebabkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak memberi ruang bagi pemerintah menentukan tarif sendiri dan mengampuni pidana pajak.
"Intinya, secara hukum lemah sehingga rawan batal jika diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu, karena bentuknya PP, insentifnya terbatas. Secara umum, tidak memberikan kepastian hukum," tutur Prastowo.
Secara terpisah, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Rosan Perkasa Roeslani mengatakan, pihaknya berpandangan keberadaan UU Pengampunan Pajak akan lebih kuat daripada apabila hanya berupa PP. "Sebaiknya, sih, undang-undang karena berkekuatan lebih," ujar Rosan di Jakarta, Kamis.
Rosan menuturkan, bahkan ketika wujudnya undang-undang pun para pengusaha yang ditemuinya masih merasakan kekhawatiran. Hal ini karena tidak ada jaminan bahwa undang-undang yang disahkan DPR itu pun tidak akan diamandemen pada periode berikutnya.
"Misalnya, penalti yang awalnya 1 atau 2 persen kemudian diamandemen jadi 10 persen. Itu salah satu kekhawatiran dari pengusaha yang akan bawa duit ke sini. Apalagi wujudnya bukan UU, tetapi PP. UU sangat mungkin diamandemen, apalagi PP," kata Rosan.