Berita Pajak
Penegakan Hukum Segera Dijalankan
Harian Kompas, 20 September 2017
Pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap sebagai Penghasilan. Ini merupakan aturan pelaksana dari Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.
Substansinya, mengacu pada salinan PP No 36/2017 yang diunduh dari situs resmi Sekretariat Negara pada Selasa (19/9), harta yang kedapatan belum atau kurang dilaporkan kepada Ditjen Pajak dalam laporan resmi akan diberlakukan sebagai tambahan penghasilan. Bagi peserta pengampunan pajak, laporan resmi yang dimaksud merujuk pada surat pernyataan dalam pengampunan pajak. Adapun bagi mereka yang tidak mengikuti pengampunan pajak, rujukannya adalah Surat Pemberitahuan (SPT) PPh terakhir.
Kepada wajib pajak yang bersangkutan diwajibkan membayar pajak terutang dan sanksi administrasi perpajakan. Perhitungan pajak terutang didasarkan pada harta bersih dikalikan tarif PPh tertinggi.
Adapun sanksinya dibagi menjadi dua skema. Bagi peserta pengampunan pajak, sanksinya berupa denda 200 persen dari pajak terutang. Bagi wajib pajak yang tidak mengikuti pengampunan pajak, sanksinya adalah denda 2 persen per bulan terhitung sejak SPT terakhir sampai temuan dikalikan pajak terutang.
Penegakan hukum
Dihubungi di Yogyakarta, Darussalam dari Danny Darussalam Tax Center berpendapat, langkah penegakan hukum dengan penerbitan aturan pelaksana tersebut patut diapresiasi. Alasannya, pemberian pengampunan pajak tanpa langkah penegakan hukum adalah sia-sia. Penegakan hukum juga penting agar ke depan ada persamaan perlakuan antara mereka yang membayar dengan jujur dan mereka yang tidak membayar dengan jujur.
"Peraturan pemerintah ini juga menjadi sinyal kepada wajib pajak bahwa penegakan hukum terkait dengan pengampunan pajak dan setelah pengampunan pajak akan dilakukan secara tegas agar wajib pajak ke depan berperilaku jujur," katanya.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, di Jakarta, berpandangan, Ditjen Pajak mesti menetapkan prioritas dalam menegakkan hukum. Ini penting untuk menghindari kesan eksekusi membabi buta yang akhirnya justru menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu. "Harus membuat prioritas dan target jelas dengan pijakan data akurat sehingga tidak perlu bersengketa pajak," kata Prastowo.
Bagi wajib pajak, seperti karyawan atau buruh yang seluruh penghasilannya telah dipotong pajak, Prastowo mengimbau tidak perlu khawatir. Jika ada harta yang belum dilaporkan, wajib pajak bisa segera menempuh mekanisme pembetulan SPT PPh.
Mekanisme pembetulan SPT, kata Prastowo, bisa juga digunakan pengemplang pajak dari kelompok kaya raya untuk menghindari penegakan hukum. Oleh karena itu, pegawai pajak harus jeli mencermati pembetulan SPT.
"Sepanjang harta diperoleh dari penghasilan yang semuanya telah dikenai pajak, pembetulan SPT bisa diterima. Namun, bagi yang sebaliknya, pegawai pajak bisa memprosesnya menjadi temuan," kata Prastowo.
Pada sisi lain, ujar Prastowo, penegakan hukum membuka ruang negosiasi di bawah meja antara oknum Ditjen Pajak dan wajib pajak. Untuk itu, pengawasannya harus ketat.
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama enggan berkomentar tentang PP No 36/2017. Pertimbangannya, Ditjen Pajak masih mendiskusikannya secara internal. "Kami belum bisa memberikan penjelasan karena ini masih dibahas internal dulu," kata Yoga.