Berita Pajak
Pemerintah Siapkan Payung Hukum Alternatif
Harian Kompas, 28 April 2016
Presiden Joko Widodo mengungkapkan alternatif itu saat di Tangerang, Banten, Rabu (27/4), saat ditanya jurnalis mengenai RUU Pengampunan Pajak.
"Proses pembahasan RUU (Pengampunan Pajak) itu ranahnya ada di DPR. Yang paling penting sudah ada proses ke sana," kata Presiden Jokowi, kemarin.
Namun, pemerintah mengantisipasi jika terjadi hal yang tidak diinginkan, misalnya pembahasan RUU itu gagal atau meleset dari target waktu yang diharapkan. "Kami sudah menyiapkan peraturan pemerintah (PP) kalau pembahasan RUU Pengampunan Pajak ada masalah. PP tentang deklarasi pajak itu bisa. Tak harus tergantung dengan UU Pengampunan Pajak," kata Presiden.
Memperjelas pernyataan Presiden, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi SP mengatakan, maksud Presiden ingin menjelaskan RUU Pengampunan Pajak bukan sesuatu yang bersifat "harga mati" meskipun pemerintah amat berharap RUU itu segera disahkan DPR.
"RUU Pengampunan Pajak itu bukan satu-satunya pilihan untuk menambah pendapatan negara," kata Johan.
Jika RUU Pengampunan Pajak ini gagal, pemerintah menyiapkan PP yang terkait pajak. Itu juga jika tidak dapat memenuhi target yang diharapkan pemerintah. Sampai saat ini, kata Johan, proses pembahasan itu belum tentu meleset dari target. Masih ada harapan pembahasan itu sesuai harapan pemerintah.
Sementara DPR akhirnya menunjukkan komitmennya untuk membantu pemerintah dalam memperbaiki perekonomian nasional. Setelah sempat terhambat, akhirnya DPR memutuskan memulai pembahasan RUU tentang Pengampunan Pajak itu pada Kamis ini. Kepastian pembahasan RUU Pengampunan Pajak itu disampaikan Ketua DPR Ade Komarudin dalam jumpa wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu sore.
Menjembatani repatriasi
Di Jakarta, Rabu, Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR, mengatakan, pemerintah berkepentingan agar repatriasi modal memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi perekonomian Indonesia. Untuk itu, investasi jangka panjang menjadi keniscayaan.
Sebaliknya, pemilik modal pun berkepentingan atas keuntungan yang tinggi atas investasinya di Indonesia. Solusinya adalah investasi di bidang infrastruktur sebab karakter investasinya yang jangka panjang sekaligus menjanjikan keuntungan yang tinggi.
"Dan, pasar modal bisa memfasilitasi ini. Oleh karena dalam pasar modal, investasi yang masuk bisa dipakai untuk investasi yang sudah jalan ataupun investasi baru. Apabila masuk ke perbankan dan lainnya, mau tidak mau harus cari yang baru," kata Tito.
Di pasar modal, Tito mencontohkan, sudah ada instrumen Reksa Dana Penyertaan Terbatas. Melalui instrumen ini, investasi bisa dikunci hanya untuk sektor riil dan infrastruktur, serta dilarang untuk perusahaan yang sudah terdaftar di pasar modal. Tujuannya adalah agar investasi memberikan efek ekonomi berantai yang luas.
Kapasitas pasar modal Indonesia untuk menampung repatriasi modal, menurut Tito, masih sangat besar. Perkiraannya bisa sampai menampung tambahan modal senilai Rp 1.000 triliun tanpa gejolak.
Guna menjamin agar modal tinggal lama di Indonesia, Tito mengusulkan agar modal dibekukan selama 1-5 tahun. Secara hukum, ini dimungkinkan dan pernah terjadi saat pembelian saham Telkom oleh Temasek.
Pembekuan yang dimaksud adalah pembekuan atas subrekening efek. Tujuannya adalah agar dana dalam rekening tidak ditarik atau dimutasikan keluar subrekening efek tersebut selama dalam status pembekuan.
Instrumen dengan pembekuan modal 1-5 tahun yang diusulkan BEI adalah Reksa Dana Kontrak Investasi Kolektif, Dana Investasi Real Estat, Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset, dan Reksa Dana Penyertaan Terbatas.
Secara terpisah, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, guna menjamin agar repatriasi modal tidak cepat terbang ke luar negeri, pemerintah menyiapkan instrumen investasi dengan jangka waktu tertentu. Namun, pada akhirnya, yang bisa menahan modal tersebut adalah bagaimana menjaga modal tersebut kerasan di Indonesia.