Berita Pajak
UMKM Sambut Positif Pajak Turun
Harian Kontan, 31 August 2017
Iden Robert Ulum, pelaku UMKM fashion online mengapresiasi langkah pemerintah tersebut. "Adanya penurunan pajak tersebut seolah pemerintah memberikan napas bagi kami," kata Iden, pemilik Fikashop ini kepada KONTAN, Rabu (30/8).
Iden menganggap penurunan nilai pajak tersebut cukup signifikan. Apalagi bisnis online yang tengah ia geluti makin ketat persaingannya.
Iden mengaku tahun lalu meraup omzet sekitar Rp 8 miliar. Bila dengan aturan sebelumnya harus membayar pajak final sebesar 1%, maka nilai pajak yang harus ia bayar sebesar Rp 80 juta. Tapi dengan aturan yang baru tersebut, Iden cukup membayar pajak final Rp 20 juta saja.
Makanya, Iden akan mengajak para kolega UMKM yang belum melunasi pajak untuk ikut membayar pajak final tersebut, karena kewajibannya sudah jauh lebih murah. Iden sendiri mengaku sudah membayar pajak.
Selain itu, ada nilai positif bagi UMKM yang membayar pajak, yakni mendapat citra positif dari konsumen. Sebab saat konsumen membeli barang dagangan, tertera potongan pajak. Ini membuat konsumen merasa aman. "Pajak yang tertera di invoice atau print billing akan memberikan nilai tersendiri bagi pelanggan," tutur Iden.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo menyoroti ada lima hal terkait penurunan pajak UMKM tersebut. Pertama, kalangan pengusaha UMKM butuh kesederhanaan dalam menghitung pajak. Sebab rata-rata UMKM belum melek pajak. "Ini butuh edukasi dan perlu gross period," katanya kepada KONTAN, Rabu (30/8).
Dari 59 juta pelaku UMKM, baru 2 juta yang melaporkan omzetnya.
Kedua, menentukan waktu gross period. Misalnya, waktu belajar tiga tahun dan setelah itu harus bisa membuat laporan pajak sendiri.
Ketiga, ada jenjang tarif pajak supaya lebih adil. "Misalnya Rp 0–Rp 300 juta pajak 0%, namun wajib lapor sambil latihan tertib. Omzet Rp 300 juta hingga Rp 1 miliar dikenakan pajak 0,25%. Sedangkan Rp 1 miliar hingga Rp 2,5 miliar 0,5% dan di atasnya dipatok 1%," jelas Yustinus.
Keempat, meningkatkan pengawasan. Pada aturan sebelumnya, UMKM dengan omzet tahunan kurang dari Rp 4,8 miliar disalahgunakan oleh para pengusaha untuk memecah usaha supaya bisa membayar pajak lebih kecil. "Jika dipecah-pecah, mereka bisa menikmati tarif pajak yang murah dan PPn mereka jadi tidak wajib pungut," tutur Yustinus.
Kelima, ia menyarankan yang boleh memakai skema ini adalah orang pribadi bukan yang berbentuk badan. Sebab usaha berbentuk badan (perusahaan) sudah pasti bisa membuat pembukuan. Berbeda dengan perorangan yang belum mahir. Jadinya, perlu ada fasilitasi mempermudah pembukuan pajak.
Bila semua dilakukan, bakal ada peluang bagi pemerintah untuk menggenjot pajak dari UMKM, meski nilainya sudah terpangkas. Sebab berdasarkan data Kementerian Koperasi terdapat 59 juta pelaku UMKM, tetapi yang menjadi wajib pajak barulah 2 juta. Artinya, masih sedikit pelaku UMKM yang melaporkan pemasukan mereka ke Direktorat Jenderal Pajak.
Adapun penerimaan pajak UMKM saat ini cuma Rp 3 triliun saja. Padahal, bila pemerintah mau memfasilitasi para UMKM ini tertib pembukuan dan diikuti dengan membayar pajak hingga 1%, potensi pajak dari UMKM bisa mencapai Rp 30 triliun. "Jadi realisasinya baru 10% dari potensi pajak final UMKM," tutur Yustinus lagi.
Iden berharap bila setoran pajak UMKM naik gara-gara partisipasi naik, ada benefit bagi pelaku usaha ini.