Harian Kontan, 15 February 2016
JAKARTA. Pengajuan pengampunan pajak atawa tax amnesty ternyata tidak mudah. Beberapa syarat yang ditetapkan pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak mulai menuai pro kontra di kalangan pengusaha yang berniat menggunakan insentif pengampunan ini.
Salah satu poin krusial adalah syarat bebas persengketaan di Pengadilan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani berpendapat, semua wajib pajak memiliki hak mendapatkan pengampunan.
Karena itu, kata dia, pemerintah seharusnya memisahkan antara wajib pajak yang tengah berperkara dan yang tak berperkara. "Yang sedang berperkara, masing-masing pasti punya argumentasi sendiri," kata Haryadi, Minggu (14/2).
Haryadi menilai jika syarat itu tetap diberlakukan, maka pengampunan pajak menjadi tidak menarik dan tak adil. Sebab wajib pajak yang tengah bersengketa dengan pemerintah belum tentu salah.
Jika nilai pajak yang diperkarakan cukup besar, maka pengusaha akan menghitung kembali untung rugi bila mengikuti kebijakan tax amnesty. Tak menutup kemungkinan, wajib pajak yang berperkara tersebut malah memilih menyelesaikan perkaranya karena nilainya lebih besar daripada harus membayar uang tebusan yang ditetapkan pemerintah. Target penerimaan pajak pun tak tercapai.
Hariyadi pun meminta pemerintah kembali merumuskan persyaratan dalam RUU tersebut dengan meminta masukan dari pengusaha. "Ke depan, pemerintah juga harus memastikan tidak ada gugatan atau judicial review atas UU ini. Jika ada dan akhirnya malah dibatalkan semua, bagaimana?" tanya Hariyadi.
Sebaliknya, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Industri (Kadin) Juan Permata Adoe berpendapat, persyaratan tersebut tidak menjadi masalah bagi pengusaha. Menurutnya, yang terpenting adalah jangan ada pasal-pasal di RUU tersebut yang menimbulkan kecurigaan antara pemerintah dan wajib pajak.
Juan berpendapat, Indonesia yang tergabung dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) sudah sepakat untuk menerapkan Automatic Ex-change of Information (AEOI) tahun 2018 mendatang. Indonesia sendiri sebagai salah satu anggotanya akan menerapkan kesepakatan tersebut di awal (early adopter), yaitu mulai tahun 2017 mendatang.
Dengan demikian, segala sengketa dengan wajib pajak harus diselesaikan sebelum mengajukan pengampunan.
Sebelumnya Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pekan lalu menegaskan syarat clear and clean bagi wajib pajak yang ingin diampuni kesalahannya. Artinya, wajib pajak harus membayarkan utang pajak jika ada utang pajak yang dinyatakan oleh penyidik pajak atau fiskus dan menerima tidak adanya kelebihan pajak apabila dinyatakan tidak adanya kelebihan pajak oleh fiskus.
Aturan ini tercantum dalam Pasal 7 ayat 3 huruf f draf RUU Pengampunan Pajak. Bunyinya: pengajuan pengampunan harus diiringi surat pernyataan mencabut permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi; juga mencabut permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar; tidak mengajukan keberatan; banding; gugatan; atau peninjauan kembali yang belum mendapat putusan.
Ada pemisahan Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, lebih adil jika pemerintah memisahkan antara wajib pihak bersengketa dan yang tidak bersengketa sebagai jalan tengahnya.
Wajib pajak bersengketa diberikan kesempatan memperjuangkan keadilannya dan tetap diperbolehkan mengikuti tax amnesty. Jika nantinya ada keputusan dari pengadilan pajak, wajib pajak tinggal memenuhi putusan tersebut apakah harus melunasi utang pajaknya, atau mendapatkan restitusi pajak.
Yustinus menambahkan jangan sampai persyaratan tersebut menjadi ganjalan bagi wajib pajak yang ingin mendapatkan pengampunan, karena tidak mampu melunasi utang yang tengah disengketakan.
Di sisi lain, kebijakan tax amnesty sejatinya untuk memutihkan kembali wajib pajak dan memasukkan masyarakat yang selama ini belum masuk ke sistem perpajakan.
Yustinus mengatakan, selama ini lebih banyak wajib pajak menang dalam pengadilan pajak melawan Ditjen Pajak. Persentasenya mencapai 80%.
"Jadi bisa saja memang kesalahan fiskus," tambahnya. Kekalahan tersebut bisa jadi karena fiskus sengaja membuat bantahan yang lemah di pengadilan sehingga kalah.