Harian Kontan, 7 October 2015
JAKARTA. Rencana pemerintah memangkas tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 25% menjadi 18%, menuai pro dan kontra. Di satu sisi kebijakan ini dinilai bisa membantu pengusaha menghadapi perlambatan ekonomi, di sisi lain rencana ini dianggap akan memicu perang tarif pajak pajak di negara kawasan.
Penurunan tarif PPh badan sebelumnya diusulkan oleh Menteri Koordinator (Menko) Politik, Hukum dan HAM Luhut Binsar Panjaitan usai bertemu Presiden Joko Widodo, akhir September lalu. Kebijakan ini diusulkan agar masuk dalam paket kebijakan jilid III. Luhut mengklaim, Presiden Jokowi telah merestui rencana ini. "Mudah-mudahan aturannya selesai dalam waktu dekat dan berlaku tahun depan," kata Luhut, saat itu.
Menurut pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, saat ini negara-negara kawasan memang dibuat pusing dengan rendahnya tarif PPh badan di Singapura.
Tarif PPh badan di negeri singa ini hanya 17%, terendah di kawasan. Gap inilah yang membuat semakin banyak investor yang menempatkan dana dan mendirikan perusahaan di Singapura. "Indonesia dan negara-negara lain harusnya menekan Singapura untuk tidak menetapkan tarif PPh badan sangat rendah," ujar Yustinus. Bukan ikut dalam perang tarif pajak.
Apalagi menurutnya, pemangkasan tarif PPh badan menjadi 18%, tidak akan serta merta membuat perusahaan asing berinvestasi di Indonesia. Pemangkasan tarif ini malah akan membuat penerimaan pajak susut, karena tidak disertai kemampuan memungut pajak yang lebih baik.
Sebab itu, dia meminta pemerintah melakukan evaluasi kembali rencana tersebut. Revisi UU diajukan Namun Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro bilang, perang tarif pajak tidak bisa dihindari. "Ketika Anda ditantang dengan tarif rendah, apakah harus menolak? Tidak bisa", katanya, Senin lalu.
Sehingga Bambang dengan tegas memastikan, pemerintah akan menurunkan tarif PPh badan. Untuk itu pemerintah akan mengajukan revisi UU PPh pada akhir tahun ini.
Pengamat pajak Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako juga menyetujui rencana penurunan tarif PPh badan. "Minimal sama dengan tarif di Singapura," katanya. Namun sebelum itu, dia meminta pemerintah mendorong tingkat kepatuhan pajak. Sebagai langkah awal, pemerintah harus menjalin komunikasi dengan masyarakat. Karena menurut Ronny, rendahnya kepatuhan pajak akibat ketakutan masyarakat terhadap tarif pajak yang tinggi.
Tingkat kepatuhan wajib pajak (WP) membayar pajak memang masih minim. Data Ditjen Pajak menunjukan, tingkat kepatuhan WP orang pribadi per 10 September 2015 baru sebesar 56,36%. Angka tersebut diperoleh dari jumlah pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) orang pribadi dibandingkan jumlah orang pribadi yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Angka itu jauh lebih rendah ketimbang tingkat kepatuhan 2014 yang mencapai 59,88%. Sementara tingkat kepatuhan wajib pajak badan per 10 September 2015 baru 49,74%. Walaupun masih minim, ini lebih tinggi dari 2014 yang 47,34%.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Suryo Bambang Sulistyo bilang dengan tarif pajak lebih rendah, daya saing industri nasional bisa terangkat. Masalah perang tarif pajak, Suryo menilai hal itu lumrah. Selain insentif pajak, kemudahan izin dan kepastian usaha juga harus diberikan. Menurut Suryo, para investor masuk ke Singapura karena banyaknya insentif pajak dan non pajak kepada pengusaha.