Berita Pajak
Beleid Pajak Baru Terasa Berat Sebelah
Harian Kontan, 6 October 2017
Keluhan ini disampaikan pengusaha dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi XI DPR, Kamis (5/10). Pengusaha yang hadir antara lain pengurus Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi).
Keberatan para pengusaha antara lain terkait perubahan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menjadi sebuah lembaga khusus yang terlepas dari Kementerian Keuangan (Kemkeu). Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kebijakan Moneter, Fiskal dan Publik, Raden Pardede mengatakan, reformasi perpajakan bisa dilakukan dalam kelembagaan Ditjen Pajak tanpa harus menjadi lembaga khusus.
"Lembaga pajak bisa tetap jadi lembaga yang punya otoritas khusus yang diberikan, tetapi tetap di bawah Menkeu," ujar Raden saat RDP, Kamis (10/5).
Keberatan lain ada di Pasal 82 RUU KUP terkait penagihan pajak. Pasal ini menyebut penanggung pajak atas pembayaran pajak terutang adalah wakil pembayar pajak, orang pribadi atau badan sebagai pemegang saham mayoritas, seluruh pemegang saham langsung maupun tidak langsung untuk perusahaan tertutup, serta orang pribadi atau badan usaha yang tidak tercantum dalam akta tapi berwenang menentukan kebijakan perusahaan.
Penyelesaian restitusi di Indonesia termasuk yang terlama di dunia.
Para penanggung pajak itu akan dimintakan pertanggungjawabannya secara pribadi maupun tanggung renteng jika ada pajak terutang. "Ini tidak sinkron dengan UU Perseroan Terbatas (PT)," ujar Raden. UU PT menyebutkan bahwa tanggung jawab direksi dan pemilik saham berbeda-beda, sesuai peranan masing-masing.
Ketua Hipmi Tax Center Ajib Hamdani menyarankan ada tambahan ketentuan di Pasal 82, sehingga pertanggungjawaban atas pajak terutang sesuai dengan porsi kewenangan dan kepemilikan saham. "Bagaimana kalau saham 20%, kami dikejar-kejar, tapi yang 80% tidak dikejar, dia malah ketawain kita. Ini ironi. Maka harus relevan dengan UU PT," jelas Ajib.
Pasal 107 juga menjadi perhatian pengusaha. Pasal ini akan menjerat wajib pajak yang dianggap merugikan keuangan negara dengan sanksi pidana dan denda. Dua sanksi secara bersamaan dianggap terlalu berat, sehingga pengusaha minta salah satu saja, pidana atau denda. Apalagi, selama ini pemahaman pajak di masyarakat masih rendah.
Wakil Ketua Umum Apindo Suryadi Sasmita mengatakan , RUU KUP ini baik tapi jangan sampai bikin dunia usaha shock karena rancangannya terlalu memberatkan wajib pajak. Salah satunya pada pasal pidana yang menurutnya terlalu ketat. "Hanya salah isi SPT kena pidana, mungkin yang isi bukan yang punya. Pengusaha ini kan bangun negeri, bayar pajak dan serap tenaga kerja, denda administrasi saja," saran Suryadi.
Untungkan pemerintah
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menganalisa, RUU KUP masih government-centered atau memihak pada pemerintah. Salah satu indikatornya adalah belum adanya sanksi bagi fiskus (petugas pajak) yang melanggar UU.
RUU juga belum mencakup penghormatan hak wajib pajak yang lebih eksplisit, misalnya percepatan penyelesaian pemeriksaan, keberatan, dan permohonan lainnya. "Seharusnya hak wajib pajak dijamin oleh UU ini," kata Yustinus yang juga diundang mengikuti RDP kemarin.
Dalam hal penyelesaian keberatan, perlu dicari jalan tengahnya karena mewajibkan pembayaran yang tanpa standar pemeriksaan jelas akan sangat mengganggu cashflow.
Selain itu jangka waktu penyelesaian keberatan juga sebaiknya diperpendek menjadi enam bulan. Selain itu, menurut Yustinus, sudah saatnya Pasal 17 KUP ditinjau lagi dengan memperpendek jangka waktu restitusi. Caranya dengan penyederhanaan pemeriksaan lebih bayar dan menghilangkan beban pemeriksaan yang tidak perlu bagi fiskus. "Hak WP untuk mendapatkan imbalan bunga sebaiknya juga dijamin dan dipermudah," tandasnya.
Yustinus memaparkan, penyelesaian pengembalian pajak/restitusi di Indonesia termasuk yang terlama di dunia. Jika rerata negara OECD membutuhkan maksimal 4-5 bulan untuk menyelesaikan proses restitusi, Indonesia perlu 12 bulan.
Hal selanjutnya adalah kerumitan regulasi. Menurutnya, pengaturan yang detail di satu sisi lebih menjamin kepastian hukum, namun di sisi lain bisa menciptakan kerumitan dan ketidakpastian baru. "Kami harap regulasi lebih sederhana dan administrasi yang sederhana, ada 15.000 aturan pajak dari UU sampai Surat Dirjen. Ini tidak semua wajib pajak tahu dan ini pekerjaan rumah terbesar kita," Yustinus menjelaskan.