Harian Kontan, 22 May 2017
JAKARTA. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1/2017 tentang Akses Aparat Pajak Terhadap Informasi Data Finansial Nasabah masih menuai pro-kontra. Sejumlah pihak yang kontra bahkan menilai Perppu No 1/2017 ini cacat hukum karena tidak memiliki dasar kondisi mendesak.
Michael Herdi Hadylaya, praktisi hukum bisnis, mengingatkan, perppu harus lahir dari kondisi mendesak. "Dalih menaati perjanjian internasional dan ketidakmampuan mematuhi perjanjian internasional akan berdampak negatif bagi Indonesia, bukan alasan yang tepat untuk menerbitkan perppu," katanya kepada KONTAN, Minggu (21/5).
Menurutnya pertukaran informasi keuangan otomatis atau Automatic Exchange of Financial Account Information (AEoI) seharusnya sudah dikaji pemerintah sejak lama. Dengan kajian matang itulah, pemerintah bisa merilis UU, bukan perppu.
Apalagi Organization for Economic Cooperation & Development (OECD) telah meminta negara peserta memastikan pranata hukum nasionalnya sejak lama. "Seharusnya kita siap dulu, bukan seakanakan kita siap," katanya.
Akibatnya, kata dia, penerapan perppu ini bisa terseok-seok dan rawan digugat. Bahkan bukan mustahil terjadi penyimpangan, seperti pemanfaatan data nasabah untuk kepentingan lain. Apalagi jika DPR ternyata tidak mengesahkan Perppu menjadi UU, sedangkan data perbankan sudah telanjur diberikan.
Anggota Komisi XI Sadar Subagyo juga berpendapat, latar belakang Perppu No 1/2017 masih lemah. Menurutnya belum ada kejadian mendesak atau genting untuk menerbitkan perppu ini.
Namun Johnny G Plate, anggota Komisi XI DPR dari Partai Nasional Demokrat berpandangan, Indonesia dapat dianggap sebagai negara tujuan penempatan dana ilegal jika tidak mengikuti AEoI tahun depan. Karena itu Perppu dibutuhkan agar investor tetap percaya.
Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Ken Dwijugiasteadi menyatakan, walau Perppu sudah di tangan, aparat pajak belum bisa mengecek informasi keuangan nasabah. Ditjen Pajak harus menunggu pembahasan perppu ini dengan DPR, serta aturan turunan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). "Kami menunggu PMK," katanya, Jumat (19/5).
Karena itulah, Ditjen Pajak, belum memiliki target prioritas dalam menyisir wajib pajak (WP). Dia bilang penyisiran data bisa dilakukan untuk WP yang ikut amnesti pajak maupun yang tidak ikut.