Berita Pajak
Kala Kendali Kembali ke Pusat
Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2019
Tak tanggung-tanggung untuk mewujudkan niatnya, Jokowi telah menyiapkan dua peluru sekaligus. Pertama, penyederhanaan puluhan regulasi dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja. Kedua , penyederhaan ketentuan perpajakan melalui RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.
Dari sisi konsep, RUU Cipta Lapangan Kerja rencananya mereduksi sejumlah poin undang-undang, termasuk UU tentang Pemerintahan Daerah, yang selama ini dianggap menghambat investasi. Ada sekitar 70-an UU yang akan disederhanakan dalam beleid tersebut.
Adapun, terkait RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, selain tujuh substansi yang mengatur kewajiban perpajakan di tingkat pusat, cakupan juga akan mengatur kembali kewenangan pemerintah pusat dalam menetapkan pajak daerah.
Intinya, melalui dua RUU ini pemerintah ingin menyelesaikan problem struktural yang selama ini menghambat daya saing Indonesia yang keteteran dibandingkan dengan negara jiran lainnya.
Presiden Jokowi dalam rapat terbatas (ratas) di Istana Kepresidenan pekan lalu, bahkan telah menginstruksikan untuk segera melakukan sinkronisasi dengan produk hukum yang diterbitkan pemerintah daerah.
“Saya minta perhatian menteri dalam negeri betul-betul mengawal konsistensi, koherensi antara reformasi perpajakan di tingkat pusat dan pembenahan pengaturan pajak dan retribusi di daerah,” tegas Presiden Jokowi.
Namun, langkah penyederhanaan regulasi tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi, dalam konsep UU yang baru ini akan banyak substansi yang berpotensi mereduksi dan mengubah hubungan antara pusat dan daerah.
Selain perlu berhati-hati, pemerintah juga perlu memastikan pelaksanaan kebijakan ini tak menimbulkan konflik baru antara pusat dan daerah. Apalagi bertentangan dengan konsep otonomi daerah (desentralisasi) sebagai salah satu cita-cita reformasi.
Seperti diketahui, kebijakan desentralisasi semula ditujukan untuk mengakhiri kekuasaan sentralistik yang pernah mencengkeram negara selama 32 tahun.
Pada 2004, Undang-Undang No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah lahir. Substansi UU itu memberikan jalan kepada pemerintah daerah untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya, dengan harapan peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah bisa segera terealisasi.
Namun, setelah hampir 15 tahun berjalan, pelaksanaan otonomi daerah mulai dipertanyakan. Ketidakpastian timbul. Tujuan-tujuan untuk mempercepat kesejahteraan di bawah rezim desentralisasi tak sepenuhnya tercapai.
Bahkan dalam beberapa kasus, desentralisasi justru melahirkan ‘raja-raja’ daerah yang korup. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari 2004 -2018 menunjukkan sebanyak 121 kepala daerah terjerat kasus rasuah. Kasus yang menjerat para kepala daerah juga sejalan dengan keluhan para invetor yakni terkait penyuapan, perizinan, pungutan, hingga penyalahgunaan anggaran.
Praktik birokrasi yang korup kemudian berimbas pada iklim investasi tidak kondusif. Investasi enggan masuk, sehingga target-target untuk pemerataan pembangunan dengan menciptakan sumber ekonomi baru tak bisa tercapai.
Dengan kondisi tersebut, tak heran jika 21 tahun pacareformasi, kemampuan daerah atau kapasitas fiskal daerah tak kunjung membaik. Tahun ini misalnya, daerah dengan kapasitas fiskal sangat tinggi masih didominasi provinsi utama di Pulau Jawa (minus Banten dan Yogyakarta).
Sementara itu, provinsi yang berada di luar empat provinsi masing-masing memiliki status kapasitas yang beragam yakni 5 yang memiliki status kapasitas fiskal tinggi, 8 sedang, 8 rendah, dan 9 sangat rendah.
Stagnasi kapasitas fiskal daerah mengindikasikan upaya pemerintah mendorong pemerataan melalui desentralisasi fiskal belum sepenuhnya berhasil. Bahkan, hal itu juga bisa diartikan ketergantungan daerah ke pusat masih sangat besar.
PEMBAHASAN REGULASI
Menteri Keuangan Sri Mulyani Ind rawati saat ditemui akhir pekan lalu tak memungkiri, politik desentralisasi tak selalu memiliki implikasi positif dengan tujuan awalnya. Bahkan, dengan kewenangan daerah yang begitu luas, pemda justru kerap menjadi sumber ketidakpastian baru. “Kalau di tingkat pusat bisa lebih sederhana dan dipermudah, begitu sampai di daerah ketidakpastian muncul,” jelasnya.
Dengan tantangan yang begitu besar, kompetisi yang cukup ketat, kata Sri Mulyani, pemerintah menargetkan RUU tersebut segera diserahkan ke DPR, paling tidak sebelum akhir tahun. Harapanya, setelah masuk ke DPR, pembahasan RUU Omnibus Law terkait perpajakan tersebut dapat segera dibahas ketika DPR memasuki masa sidang pada awal tahun.
Di sisi lain, rencana pembahasan rancangan undang-undang omnibus law terkait cipta lapangan kerja dan usaha mikro kecil dan menangah (UMKM) menjadi konsentrasi utama DPR
Anggota Komisi XI DPR Andreas Eddy Susetyo mengatakan parlemen perlu mempelajari apa yang akan dilakukan pemerintah me- lalui rancangan UU tersebut. Apalagi, ada puluhan undang-undang yang akan dirangkum menjadi satu regulasi tersebut.
Menurutnya, pembahasan rancangan regulasi ini perlu mendapatkan perhatian khusus. Pasalnya, dengan kompleksitasnya termasuk jumlah regulasi yang akan disederhanakan dalam RUU ‘Sapu Jagad’ ini juga kerap berubah-ubah dari 74 menjadi 86 regulasi.
DPR juga perlu memastikan dan menyeleksi supaya UU yang sudah masuk dalam tahap harmonisasi tidak bersinggungan dengan konsep UU omnibus. “Sekarang ini yang penting sedang dikejar dalam proses legislasi nasional adalah desakan pemerintah untuk omnibus law cipta lapangan kerja dan UMKM,” kata Andreas.
Sementara itu, ekonom Indef Enny Sri Hartati mengungkapkan, pemerintah masih harus memperjelas maksud dan tujuan RUU tersebut. Perlu dilihat di mana rujukan dari rencana implementasi RUU tersebut.
Selain itu pemerintah juga harus memastikan jika nanti RUU ini diterapkan, tidak hanya menguntungkan satu golongan. Semua pihak harus terwakili dan jangan sampai RUU ini mengganggu kepentingan negara yang lebih luas.