Berita Pajak
Standar Penilaian Harta Diterbitkan
Harian Kompas, 29 September 2017
Pedoman itu tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 24 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Harta Selain Kas yang Diperlakukan atau Dianggap sebagai Penghasilan dalam Rangka Pelaksanaan Pasal 18 Undang-Undang Pengampunan Pajak. Surat itu dirilis pada Rabu (27/9).
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama menyatakan, terbitnya surat edaran tersebut akan memberikan standar yang sama kepada semua petugas pajak dalam menilai harta wajib pajak yang belum atau kurang dilaporkan. Adapun bagi wajib pajak, pedoman itu memberikan kepastian sekaligus menjamin prosedur penilaian yang obyektif. Meski demikian, potensi sengketa antara petugas pajak dan wajib pajak dapat diminimalisasi.
Penilaian harta dengan standar jelas sangat krusial dalam penegakan hukum pascapengampunan pajak. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak antara lain mengamanatkan penegakan hukum setelah program usai. Penegakan hukum berlaku untuk peserta dan bukan peserta pengampunan pajak.
Peserta pengampunan pajak yang relevan menjadi sasaran adalah mereka yang memiliki harta yang tidak atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan harta (SPH) atau yang tidak melaksanakan komitmen repatriasi. Adapun wajib pajak bukan peserta pengampunan pajak yang relevan menjadi sasaran adalah mereka yang memiliki harta yang tidak diungkapkan dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan.
Selanjutnya, temuan harta bersih tersebut akan dianggap sebagai penghasilan pada saat ditemukan. DJP lalu akan menetapkan pajak terutang dengan tarif tertinggi dan sanksi administrasinya.
Darussalam dari Danny Darussalam Tax Center mengatakan, penerbitan aturan penegakan hukum pascapengampunan pajak sudah tepat. DJP harus melakukannya dengan menggunakan standar penilaian untuk memberikan kepastian, keseragaman, serta prosedur dan dasar yang obyektif.
Masih lunak
Meski demikian, menurut Darussalam, usaha penegakan hukum itu tidak sewenang-wenang, bahkan terbilang lunak. Alasannya, perlakuan yang harus diberikan kepada wajib pajak yang memutuskan tidak patuh, merujuk pada Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), adalah dengan melakukan segala upaya hukum untuk memaksa wajib pajak agar menjadi patuh.
"Tindakan DJP untuk melakukan pemeriksaan dengan acuan standar penilaian yang transparan masih lebih lunak dari apa yang dianjurkan oleh OECD," kata Darussalam.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, surat edaran tentang pedoman penilaian harta tersebut sudah tepat. Tantangannya adalah pelaksanaan oleh pegawai pajak di berbagai daerah. "Seluruh pegawai pajak harus satu pemahaman. Jika tidak, akan bermasalah. Selain itu, multiinterpretasi terhadap aturan rawan menimbulkan celah penyelewengan," kata Prastowo.
UU No 11/2016, misalnya, menyebutkan, penegakan hukum dilakukan jika ditemukan harta yang kurang atau belum dilaporkan. Diksi ditemukan ini bisa sengaja digunakan untuk ruang transaksional antara pegawai pajak dan wajib pajak. "Bisa saja, wajib pajak disuruh melaporkan sehingga bebas dari kewajiban sekaligus sanksi administrasi," kata Prastowo.