Harian Kompas, 11 May 2016
Rancangan undang-undang pengampunan pajak marak dikaji dan didiskusikan. Salah satu yang menarik adalah mengenai prinsip keadilan ketika undang-undang itu disahkan. Untuk itu perlu dicermati seperti pemikiran apabila masyarakat harus membayar bunga obligasi para penghindar pajak. Untuk itu, pembahasan pengampunan pajak, terutama ketika menyoal tarif tebusan, perlu hati-hati.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat akan mulai membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengampunan Pajak per 18 Mei. Targetnya, tuntas pada akhir Mei.
Salah satu substansi RUU tentang Pengampunan Pajak adalah pengampunan kepada penghindar pajak atas utang pajak berikut sanksi dan pidana pajaknya. Syaratnya, mereka melaporkan aset yang selama ini tidak dilaporkan dalam surat pemberitahuan tahunan (SPT). Selanjutnya, penghindar pajak diwajibkan membayar uang tebusan. Besarnya adalah tarif tertentu atas nilai aset yang belum dilaporkan dalam SPT selama ini.
Adapun skema tarifnya terdiri atas dua. Pertama adalah tarif bagi penghindar pajak yang sebatas membetulkan laporan aset. Kedua adalah tarif bagi pengemplang yang membetulkan laporan aset sekaligus merepatriasi dananya yang selama ini ditempatkan di luar negeri.
Skema pertama, tarifnya meliputi 2 persen, 4 persen, dan 6 persen. Skema kedua, tarifnya separonya, yakni 1 persen, 2 persen, dan 3 persen. Pilihan tarif bergantung pada periode pengajuan permohonan pengampunan pajak. Awalnya, dengan asumsi program digelar selama setahun penuh, waktu pengajuan permohonan dibagi ke dalam tiga periode, yakni triwulan I, triwulan II, dan semester II.
Hal yang perlu dicermati adalah tarif terendah untuk tiap-tiap skema adalah 1 persen dan 2 persen. Tentu tarif ini yang akan disasar para pengemplang pajak.
Jika skema tarif tersebut disepakati pemerintah dan Parlemen, mimpi buruk itu akan menjadi kenyataan, yakni masyarakat malah mengongkosi orang berpunya yang selama ini diketahui mengemplang pajak. Alur pemikirannya adalah sebagai berikut.
Para pengemplang cukup membayar tarif terendah, yakni 1-2 persen untuk uang tebusan. Ketika mereka menempatkan asetnya ke dalam obligasi negara, mereka justru mendapatkan keuntungan. Sebab, imbal hasil Surat Berharga Negara jauh lebih tinggi daripada tarif tebusan. Saat ini, rata-rata imbal hasil Surat Utang Negara, misalnya, adalah 8-9 persen. Artinya pengemplang pajak justru untung.
Pada saat yang sama, negara harus membayar imbal hasil tiap tahunnya. Dari mana negara mendapatkan uang untuk membayar imbal hasil atas semua Surat Berharga Negara yang diterbitkan?
Tentu dari penerimaan negara yang 70 persen, di antaranya ditopang oleh penerimaan pajak. Dan, salah satu penyumbang pajak terbesar adalah pajak buruh atau karyawan alias Pajak Penghasilan Pasal 21. Pajak ini langsung ditarik perusahaan dari gaji buruh.
Dengan demikian, melempangkan skema tarif sesuai RUU tentang Pengampunan Pajak sama dengan memaksa masyarakat membayar imbal hasil untuk para pengemplang pajak dan negara yang tampaknya mendapatkan tambahan penerimaan tahun ini, sejatinya tekor karena imbal hasil yang harus dibayarkan justru lebih besar nilainya.
Sejumlah negara telah melakukan program pengampunan pajak. Rata-rata uang tebusannya adalah 5-10 persen. Program pengampunan pajak yang pernah diterapkan Pemerintah Indonesia pada 1964 dan 1984 pun tarifnya tak serendah itu. Untuk tahun 1964, tarifnya 5 atau 10 persen. Sementara untuk 1984, tarifnya 1 persen untuk yang sudah terdaftar dan 10 persen untuk yang belum terdaftar.
Untuk itulah, kita mempersoalkan prinsip keadilan dalam program pengampunan pajak. Kita berharap pemerintah tidak melupakan para pembayar pajak yang selama ini rajin dan taat pada aturan yang ada.