Berita Pajak
Forpesi: Pisahkan Ditjen Pajak dari Kemenkeu
inilah.com, 10 October 2014
INILAHCOM, Jakarta – Sudah saatnya pemerintah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dipisahkan dari Kementerian Keuangan. Perannya yang sangat besar dalam pembiayaan APBN, menuntut hadirnya lembaga khusus yang mengurus penerimaan negara yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
"Perlu ada langkah konkret untuk mengatasi berbagai persoalan yang membelit dalam optimalisasi penerimaan pajak. Salah satu langkah itu adalah pembentukkan lembaga independen langsung di bawah Presiden yang mengelola pendapatan negara," kataKetua Umum Forpesi, Iskandar Andi Nuhung,di sela-sela diskusi panel bertajuk “Pajak untuk Kesejahteraan Rakyat”, yang diselenggarakan Forum Purnabakti Eselon 1 Indonesia (Forpesi), di Jakarta, Kamis (9/10).
Menurut dia, sudah saatnya Indonesia punya semacam badan otonom yang khusus mengurus penerimaan Negara, khususnya pajak. Lembaga ini diberi kewenangan penuh dalam menentukan struktur organisasi, SDM, dan anggaran.
Iskandar yakin, jika lembaga seperti ini sudah lahir, penerimaan pajak sebagai penopang utama APBN bisa dimaksimalkan dengan lebih cepat, efisien, dan efektif. Jika diiringi dengan transparansi dan akuntabilitas penggunaan pajak yang baik, maka rakyat sebagai pembayar pajak juga akan merasa senang dan lebih sadar memenuhi kewajibannya..
Pendapat senada juga datang dari Tenaga Pengkaji Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak, Kementerian Keuangan Indonesia, Dasto Ledyanto. Menurut dia, kontribusi pajak dalam APBN makin lama makin vital. Komposisinya saat ini sudah mendekati 70% ini. Ini tidak main-main. Dijen Pajak harus diurus secara khusus, terpisah dari kementerian keuangan.
Sejatinya, pendapat perlunya memisahkan DJP dari Kementerian Keuangan bukan baru kali ini dilontarkan. Sebelumnya sejumlah pihak sudah pernah mengusulkan hal itu. Pada awal tahun 2000an, salah satu penggagasnya adalah mantan Dirjen Pajak dan Menteri Keuangan, Fuad Bawazier.
Kini wacana pemisahan DJP dari Kemenkeu kembali menggema. Hal ini wajar saja mengingat luas dan pentingnya penerimaan pajak bagi pembangunan. Kontribusi pajak terhadap APBN dari waktu ke waktu terus meningkat, khususnya sejak penerimaan Migas semakin susut saja.
Pada APBN 2015, porsi penerimaan pajak mencapai Rp1.193 triliun, atau sekitar 67% dari total pendapatan negara yang Rp1.762 triliun. Dengan jumlah penduduk hamper 250 juta jiwa, petugas pajak Indonesai ternyata hanya sekitar 32.000 orang. Akibatnya, wajar saja jika penerimaan pajak sering tidak berhasil mencapai target. Sebagai pembanding, Jepang yang penduduknya hanya 120.000 jiwa, punya 60.000 petugas pajak.
Hal itu makin diperburuk oleh minimnya infrastruktur perpajakan yang ada. Saat ini baru ada ada 31 kantor wilayah untuk 34 provinsi dan 331 Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk 506 kabupaten atau kota. Dari fakta seperti ini, selain SDM yang jumlahnya harus ditambah, juga harus ada peningkatan infrastruktur perpajakan. Dengan begitu baru bisa diharapkan penerimaan dari sektor pajak bisa dimaksimalkan.