Harian Kontan, 21 April 2016
JAKARTA. Setelah mendengarkan usulan pengusaha, Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menggali pendapat akademisi, pakar ekonomi dan perpajakan. Dari rapat dengar pendapat (RDP) pada Rabu (20/4), para pakar menilai tarif tebusan pengampunan pajak di RUU tax amnesty yang diusulkan pemerintah terlalu ringan.
Kepala Ekonom PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk Anggito Abimanyu berpendapat, pemerintah belum benar-benar siap menerapkan tax amnesty. Itu terlihat dari infrastruktur perpajakan dan sistem informasi, saat ini belum memadai. Dari sisi keterbukaan informasi perbankan juga berada di level bawah dibandingkan negara lainnya.
Jumlah auditor Indonesia juga hanya 2% dari total pegawai Ditjen Pajak. Sementara posisi Ditjen Pajak belum kuat karena belum menjadi badan khusus, tarif pajak juga belum kompetitif. "Kalau mau tax amnesty idealnya revisi Undang-Undang (KUP) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, data informasi diperbaiki, IT diperbaiki, sehingga menjadi rumah yang nyaman bagi dana-dana dari luar negeri. Dengan begitu bisa menjadi basis pajak baru," kata Anggito, dalam RDP, Rabu (20/4).
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat serupa. Dia bilang tax amnesty harusnya instrumen reformasi perpajakan, bukan sekadar menutup kebutuhan penerimaan.
Anggito, Prastowo, dan Guru Besar Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana berpendapat, tax amnesty yang diusulkan pemerintah saat ini hanya cara pragmatis mengatasi keterdesakan penerimaan pajak tahun ini.
Mereka juga menilai, tarif tebusan yang diusulkan pemerintah yaitu 1%-6% terlalu rendah. Merujuk kebijakan yang sama di negara lain, seharusnya tarif yang berlaku minimal 5% sehingga pemerintah memiliki posisi tawar-menawar yang tinggi. Apalagi pemerintah akan menerapkan Automatic Exchange of Information (AEoI) pada akhir 2017. "Saya usulkan paling rendah 5% dan 3% untuk yang repatriasi," kata Anggito.
Dalam RUU tax amnesty pemerintah mengusulkan tarif tebusan 1%,2%, dan 3% untuk pengemplang yang melakukan repatriasi. Sedangkan yang tidak repatriasi 2%,4%, dan 6%. Prastowo mengusulkan agar tidak banyak lapisan tarif. Tarif ideal tax amnesty di Indonesia 5%-10% dan dibuat dua jenis, yaitu untuk repatriasi serta nonrepatriasi aset. "Untuk UKM tarifnya lebih rendah, misalnya 2%," katanya.