Berita Pajak
Sejumlah Aturan Disinkronkan
Harian Kompas, 27 April 2016
Langkah ini dilakukan agar pembahasan ketentuan berjalan lancar dan segera dapat disahkan Dewan Perwakilan Rakyat. Langkah lain yang disiapkan adalah menyinkronkan sejumlah aturan apabila RUU Pengampunan Pajak disetujui dan disahkan DPR.
Presiden menekankan adanya penyamaan persepsi itu saat bertemu Jaksa Agung M Prasetyo, Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti, dan tiga pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (26/4). Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi SP mengatakan, penyamaan persepsi itu penting artinya pada saat RUU masih dalam pembahasan.
”Pimpinan lembaga penegak hukum harus memiliki pemahaman sama terkait target waktu penyelesaian pembahasan RUU, materi-materi apa yang perlu diperhatikan, begitu pun dengan sinkronisasi RUU Pengampunan Pajak dengan aturan-aturan lain,” kata Johan Budi, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
Saran sinkronisasi aturan- aturan terkait dengan RUU Pengampunan Pajak juga muncul dalam rapat dengar pendapat antara Komisi XI DPR dengan KPK, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kejaksaan Agung, dan Polri, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Pertemuan itu dihadiri pejabat KPK, yaitu Wakil Ketua Laode M Syarif, Saut Situmorang, dan Alexander Marwata. Kemudian Kepala PPATK M Yusuf, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung Arminsyah, dan Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Dwi Priyatno.
Dalam rapat dengar pendapat, Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Dwi Priyatno mengatakan, RUU Pengampunan Pajak berpotensi menimbulkan ketidaksinkronan dengan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya.
Misalnya, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sebagai contoh, UU Perbankan mengatur bahwa untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia melalui permintaan Menteri Keuangan berwenang memerintahkan bank untuk memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis tentang keadaan keuangan nasabahnya kepada pejabat pajak. Namun, dengan prinsip kerahasiaan dalam RUU Pengampunan Pajak, menteri tidak bisa lagi meminta perbankan untuk menunjukkan data tersebut kepada Bank Indonesia.
”Sebab, Menkeu juga wajib merahasiakan data nasabah yang ikut program amnesti. Kondisi ini tentunya bisa menyulitkan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana perpajakan,” kata Dwi.
Karena itu, lanjutnya, harus ada pemahaman dasar bahwa keberadaan pemberlakuan UU Pengampunan Pajak nantinya akan bersifat lex specialis (khusus) sehingga aturan undang-undang lain dapat dikesampingkan.
Pengawasan aparat pajak
Polri mengusulkan, berhubung pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan akan menjadi pelaksana utama amnesti, pengawasan terhadap mereka perlu dikuatkan.
”Ini untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, permufakatan jahat, ataupun penyuapan dalam implementasi RUU Pengampunan Pajak ini,” kata Dwi.
Sementara itu, KPK mengatakan, pihaknya sebagai lembaga penegak hukum tidak dalam posisi mendukung atau menolak karena itu hak pemerintah-DPR.
Laode memberikan beberapa catatan, dana yang terkait dengan kasus yang tengah diselidiki baik oleh KPK, Polri, maupun Kejaksaan Agung dapat dikecualikan dari RUU Pengampunan Pajak.
Menurut Saut, pengalaman beberapa negara yang melakukan mekanisme ada yang menunjukkan keberhasilan ataupun kegagalan. Karena perdebatan tidak pernah akan selesai, diperlukan keberanian untuk membuat keputusan.
M Yusuf meminta agar kebijakan terkait pengampunan pajak tidak menghilangkan proses tindak pencucian uang dan terorisme. Kemudian semua institusi yang terlibat diminta bekerja sama untuk melakukan deteksi dini terkait tindak pencucian uang dan terorisme selain kerja sama untuk menghindari penyalahgunaan RUU tersebut.
”Karena uang itu harus masuk ke dalam negeri, bukan lewat, perlu ada syarat, seperti deposito minimal 2 tahun, lalu surat utang negara minimal 1-2 tahun. Berikutnya perlu ada pernyataan dari KPK, Kejagung, dan Polri untuk tidak mengutak-atik agar mereka yakin,” kata Yusuf.
Lebih lanjut, diperlukan adanya aturan penegakan hukum yang lebih tegas setelah program pengampunan pajak diberlakukan. Seperti diketahui, program amnesti pajak hanya ditawarkan kepada para pengemplang pajak untuk satu kali, yaitu sampai 31 Desember 2016.
Karena itu, menurut Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Arminsyah, setelah pemberlakuan amnesti, harus ada pengenaan sanksi yang lebih berat bagi wajib pajak yang ternyata tetap melakukan penghindaran pajak.
Dalam rapat tersebut, anggota Komisi XI DPR juga mempertanyakan hal-hal yang terkandung di dalam RUU Pengampunan Pajak, seperti Eva Kusuma Sundari dari Fraksi PDI-P, yang khawatir RUU tersebut tidak memperbaiki sistem perpajakan dan hanya menguntungkan segelintir pihak. Sementara Aditya Anugerah Moha dari Fraksi Partai Golkar meminta kepastian dan komitmen KPK agar data pelapor tidak digunakan untuk penyelidikan terkait korupsi.
Anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Golkar, Edison Betaubun, mengatakan, pembahasan RUU Pengampunan Pajak jangan sampai hanya bertujuan mengejar pendapatan bagi kas negara. Lebih dari itu, aspek penegakan hukum pun tetap perlu dipertimbangkan.
Di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, pihaknya mendukung wacana kenaikan tarif tebusan program pengampunan pajak. Meskipun demikian, soal angka, ia enggan menyebutkan sebab hal itu, akhirnya, merupakan kesepakatan politik antara pemerintah dan DPR dalam pembahasan RUU Pengampunan Pajak.
”Kami mengakomodasi usulan kenaikan tarif tebusan. Soal angka nanti, karena itu kesepakatan politik. Namun, usulan kenaikan tarif akan kami dukung karena, toh, jauh lebih rendah daripada kalau denda normal,” katanya.