antaranews.com, 20 Mei 2013
Budi terperanjat, tak lama iapun menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil memandang sesuatu dalam berkas yang membuatnya tak percaya. Berkas dihadapannya tersebut ia bolak balik seakan mencoba mencocokkan data dari satu berkas ke berkas lainnya.
Sebagai seorang Account Representative (AR) di suatu Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di Jakarta ia pantas untuk terkaget-kaget. Berdasarkan data yang diterimanya dari Bank Indonesia, dia mendapati bahwa salah satu Wajib Pajak yang harus dilayaninya ternyata memiliki beberapa rekening Koran yang belum dilaporkan ke kantor pajak.
Sang AR lebih terkejut lagi manakala mendapati bahwa Wajib Pajak tersebut tengah berupaya gencar-gencarnya membangun pabrik di beberapa lokasi, sesuai dengan data pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) yang diterimanya dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Budi tahu betul, bahwa sang Wajib Pajak, sebut saja PT. X, selalu melaporkan rugi pada laporan keuangannya dalam beberapa tahun terakhir. Dengan komposisi permodalan yang tidak pernah bertambah, mustahil bagi PT. X melakukan ekspansi bisnis besar-besaran di tengah kerugian usaha yang menderanya. Akhirnya Budi menyimpulkan bahwa PT. X diduga kuat merekayasa laporan keuangannya dengan tujuan mengecilkan pajak yang harus dibayar.
Penghindaran pajak sebagaimana kasus di atas seringkali ditemui di seluruh Negara termasuk Indonesia. Secara umum, penghindaran pajak dapat dilakukan dengan memanfaatkan celah pada ketentuan perpajakan yang berlaku atau dengan melakukan aktivitas ilegal yang melanggar ketentuan perpajakan.
Seluruh Wajib Pajak memiliki hak untuk melakukan perencaaan pajak (tax planning) guna mengoptimalkan pembayaran pajaknya melalui skema tertentu yang tidak melanggar ketentuan perpajakan. Skema seperti ini, dikenal dengan nama tax avoidance, adalah upaya legal dalam menghindari pajak.
Namun demikian, aktivitas seperti rekayasa laporan keuangan, rekayasa transaksi keuangan, penerbitan faktur pajak fiktif maupun upaya untuk tidak melaporkan seluruh aktivitas keuangan perusahaan adalah aktivitas ilegal yang melanggar ketentuan perpajakan. Upaya ini dikenal dengan nama tax evation, dan dapat menjerumuskan siapa saja yang melakukannya ke dalam tindak pidana perpajakan.
Dalam Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP) dikenal beberapa jenis tindak pidana perpajakan, diantaranya:
- tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar;
- tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), atau penyalahgunaan NPWP/PKP;
- memperlihatkan pembukuan palsu atau dipalsukan seolah-olah benar yang tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
- tidak menyelenggarakan pembukuan di Indonesia;
- tidak memperlihatkan atau tidak menyimpan dokumen yang menjadi dasar pembukuan, atau pembukuan termasuk hasil pengolahan data pembukuan yang dikelola secara elektronik di Indonesia;
- tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut;
- menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemotongan/pemungutan pajak dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya; dan
- menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai PKP.
Tindak pidana di atas dapat dikenakan kepada Wajib Pajak itu sendiri, wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Saat ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus dibekali dengan berbagai senjata ampuh untuk menjerat para pelaku tindak pidana perpajakan. Ketentuan terbaru, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2012 tentang Pemberian dan Penghimpunan Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan.
Peraturan yang terbit pada tanggal 27 Februari 2012 ini mengatur mekanisme pemberian data dan informasi dari pihak lain ke DJP. Di samping itu, peraturan ini juga memberikan wewenang kepada DJP untuk menghimpun data dan informasi tambahan secara rahasia, misalnya melalui kegiatan intelijen.
Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan PP tersebut, bahwa tujuan pemberian dan penghimpunan data dan informasi ini adalah untuk:
- membangun data perpajakan sebagai dasar pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh masyarakat secara self assessment;
- meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak;
- meminimalkan kontak antara aparat pajak dengan Wajib Pajak, dan
- meningkatkan profesionalisme aparat pajak dan Wajib Pajak.
Adapun inti dari PP tersebut adalah bahwa untuk mendukung keberhasilan sistem pengawasan Wajib Pajak, instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi perpajakan kepada DJP. Pemberian tersebut dilakukan secara berkala dalam bentuk elektronik. Pihak yang wajib memberikan, rincian data dan informasi yang wajib diberikan, mekanisme pemberian, dan jangka waktu pemberian, diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Selanjutnya, melalui PMK Nomor 16/PMK.03/2013 tentang Rincian Jenis Data dan Informasi serta Penyampaian Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan, diatur pihak pemberi, rincian jenis data dan informasi yang diberikan, dan jadual penyampiannya. Dalam ketentuan tersebut, Bank Indonesia wajib memberikan data informasi debitur dan informasi devisa hasil ekspor. Sedangkan BPN wajib memberikan data pensertifikatan tanah, data pemberian hak pakai atas tanah, serta data pemberian hak guna bangunan.
Selain senjata ampuh di atas, DJP juga gencar melaksanakan kerjasama dengan berbagai instansi seperti Pusat Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Saat ini, penyidik pajak memiliki akses langsung terhadap data PPATK. Sedangkan kerjasama dengan LAPAN difokuskan pada analisis peta bumi untuk mengawasi luasan lahan perkebunan maupun pertambangan. Dengan demikian, seorang AR seperti Budi dapat dengan leluasa mengawasi kepatuhan Wajib Pajak yang dilayaninya dengan cermat.
Demi mengamankan penerimaan negara itulah, selain upaya kerjasama dengan pihak ketiga dan pengenaan sanksi terhadap Wajib Pajak bandel, DJP pun terus berupaya untuk memperbaiki SDMnya melalui pelatihan pegawai, pembenahan mental pegawai, dan implementasi Whistleblowing System (WBS) yang telah berjalan dengan baik. Program bersih-bersih pegawai pajak bandel pun mulai menampakkan hasilnya. Penangkapan beberapa pegawai pajak oleh KPK, adalah salah satu hasil dari WBS.
Senjata yang berupa data dan informasi terkait perpajakan, yang dihimpun DJP dari instansi lain dapat dimanfaatkan untuk mengecek kebenaran data perpajakan yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
Sanksi pidana yang dikenakan terhadap Wajib Pajak bandel akan membuatnya berpikir dua kaliuntuk melakukan pelanggaran pidana. Upaya tersebut diperkuat dengan pembenahan kualitas pegawai pajak, baik sisi teknis maupun mentalitas, yang konsisten dilakukan oleh DJP guna mencapai target penerimaan pajak.
Dengan target penerimaan pajak yang selalu meningkat, DJP paham betul bahwa tanggung jawab besar itu harus dijawab dengan profesionalisme tinggi dan keikhlasan untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa ini.