Harian Kontan, 24 May 2017
JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemkeu) menarget- kan untuk bisa merumuskan dan menyampaikan draf final revisi Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun ini. Pemerintah mengejar penyelesaian RUU PPH karena tidak mau ketinggalan dengan negara-negara lain yang ramai-ramai menurunkan tarif pajak.
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Goro Ekanto mengatakan, saat ini Kemkeu masih membahas poin-poin revisi UU PPh bersama Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. "Masih proses diskusi antara BKF dengan Ditjen Pajak," katanya kepada KONTAN, Senin (22/5).
Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak Poltak Maruli John Liberty Hutagaol mengakui saat ini banyak negara memang ramai-ramai memangkas tarif PPh badan sebagai insentif fikal yang diberikan pemerintah kepada investor. Namun seiring penurunan tarif PPh Badan, negara-negara itu memerlukan kenaikan penerimaan dari sumber lainnya. "Kebanyakan di negara-negara seperti ASEAN, Eropa cenderung tarif PPh turun, tapi pajak konsumsinya naik," kata John.
Tarif PPh badan di Indonesia sebesar 25%, lebih tinggi dibanding Singapura 17% dan Thailand 23%. Adapun tarif pajak Malaysia saat ini sebesar 24%. Kemkeu mengaku akan memasukkan rencana penurunan tarif PPh badan dalam revisi UU PPh.
Apalagi Pemerintah Malaysia saat ini juga tengah mengkaji penurunan tarif PPh badan ke 15%. Bahkan, Malaysia menyewa Dan Mitchell, pakar kebijakan fiskal Amerika Serikat (AS) guna penelitian penurunan tarif PPh. Hasilnya, jika Malaysia menurunkan tarif pajak menjadi 15%, maka akan menjadi strategi yang sangat cerdik untuk meningkatkan daya saing regional.
Selain Malaysia, Presiden AS Donald Trump juga ingin menurunkan tarif pajak badan yang dianggap terlalu besar. Langkah serupa juga akan ditempuh Pemerintah India demi mendongkrak daya saing. China malah lebih dahulu dalam perang pajak ini. Mulai 1 Juli 2017, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) pada sejumlah produk seperti gas alam dan pertanian akan dipotong menjadi 11% dari awalnya yang mencapai 13%.
Kepala BKF Kemkeu Suahasil Nazara mengakui, penurunan tarif pajak bakal menaikkan daya saing. Bila tarif pajak turun kemungkinan akan meningkatkan kepatuhan pembayaran pajak. "Tapi juga bisa menurunkan tax ratio. Sekarang tax to GDP ratio di Ditjen Pajak Pusat hanya 10,3%. Bila tarifnya diturunkan, penerimaannya turun, tax to GDP turun,” katanya.
Saat ini BKF tengah dimatangkan agar tax ratio tak tergerus jika tarif pajak diturunkan. Sebab pajak adalah dana pembangunan nasional. Peneliti pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiadji berpendapat, kebijakan pajak yang pro investasi perlu dirumuskan dengan hati-hati karena bisa berisiko terhadap penerimaan negara. Sebab kebijakan pajak bukan kunci utama dalam menarik investasi, namun ada infrastruktur, perizinan, dan kestabilan politik.