Berita Pajak
Masa Krusial Anggaran Negara Kelihaian aparat pajak memenuhi target kenaikan pajak Rp 104,6 triliun menjadi Rp 1.484,6 triliun menjadi kunci APBN-P 2015
Harian Kontan, 20 Januari 2015
JAKARTA. Beleid anggaran negara 2015 menghadapi masa krusial. Pemerintah berniat menggelar proyek-proyek besar yang membutuhkan anggaran ekstra besar.
Di sisi lain, sumber utama pemasukan anggaran negara bertumpu pada setoran pajak dan cukai. Persoalannya, berbagai hambatan mengadang dan bakal menghambat pengejaran setoran pajak.
Sebagai gambaran, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2015, total penerimaan perpajakan naik sekitar Rp 104,6 triliun.
Sebelumnya, APBN 2015 menetapkan penerimaan perpajakan (pajak serta bea dan cukai) sebesar Rp 1.380,0 triliun, dan naik lagi menjadi sekitar Rp 1.484,6 triliun.
Khusus penerimaan pajak naik Rp 93,9 triliun menjadi Rp 1.295,6 triliun, dari sebelumnya Rp 1.201,7 triliun. Peningkatan pajak terutama terjadi di sektor pajak penghasilan (PPh) non minyak dan gas (migas) dan pajak pertambahan nilai (PPN).
Target bea cukai juga naik Rp 10,7 triliun, dari Rp 178,3 triliun menjadi Rp 188,9 triliun. Penerimaan cukai rokok jadi andalannya. Sedangkan penerimaan dari bea masuk dan bea keluar malah akan turun.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengakui bahwa, penerimaan pajak menjadi tulang punggung anggaran perubahan. Sebab, plafon belanja negara bersifat mengikat. Target defisit juga dipatok sebesar Rp 225,9 triliun atau 1,9% dari PDB.
Alhasil, pemerintah harus bisa lihai memainkan sisi penerimaan negara. "Kalau belanja ingin direalisasikan sebaik mungkin, penerimaan harus bisa setinggi mungkin," tandas Bambang dalam rapat dengan Badan Anggaran DPR, Senin (19/1).
Tujuh strategi Penerimaan negara yang secara khusus akan ditingkatkan adalah pajak. Menurut Bambang, pemerintah akan melakukan beberapa hal untuk bisa mengarahkan penerimaan pajak sesuai target.
Pertama, reformasi birokrasi dan perubahan struktur organisasi Direktorat Jenderal Pajak. Kementerian Keuangan (Kemkeu) menyebutnya sebagai Ditjen Pajak Plus. Dirjen Pajak akan memiliki tambahan wewenang memimpin instansinya. Ditjen Pajak akan memiliki hak untuk mengelola sumber daya manusia atau pegawai secara langsung.
Kedua, memperbaiki administrasi pendapatan perpajakan melalui penerapan e-tax invoice dan pencegahan transfer pricing. Bersamaan dengan itu, Ditjen Pajak akan memperketat pengawasan pengusaha kena pajak (PKP) serta intensifikasi pengawasan penggunaan dan penerbitan faktur pajak fiktif.
Ketiga, peningkatan penegakan hukum. Penerapan cekal ke luar negeri ataupun penyanderaan wajib pajak akan ditingkatkan. Keempat, memperbaiki regulasi pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), dan pajak pertambahan nilai atas barang mewah (PPnBM).
Kelima, ekstensifikasi wajib pajak baru. Bambang menyatakan, kepatuhan pembayaran wajib pajak, terutama orang pribadi, menjadi target utama ekstensifikasi pajak.
Oleh karena itu, Ditjen Pajak bakal lebih tegas dan teliti menghitung serta menagih pajak wajib pajak pribadi. Selain itu, "Kami akan perbaiki mekanisme pembayarannya," janji Bambang.
Alasannya, setoran pajak pribadi masih minim. Sebagai perbandingan, dari realisasi tahun 2014, total penerimaan pajak non migas Rp 897 triliun, sementara penerimaan dari wajib pajak pribadi non karyawan hanya Rp 5 triliun.
Keenam, mengoptimalkan proses kepabeanan dan cukai. Ketujuh, perbaikan mekanisme fasilitas penundaan pembayaran cukai bagi pengusaha atau importir barang kena cukai yang melaksanakan pelunasan dengan cara pelekatan pita cukai.
Nah, penerimaan pajak diharapkan dapat menutupi penurunan drastis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 129,3 triliun, menjadi Rp 281,1 triliun. Setoran PNBP turun drastis ini akibat turunnya asumsi harga minyak dan produksi minyak (lifting) di RAPBN-P 2015.
Pengamat perpajakan dari Universitas Indonesia, Darussalam, pesimistis pemerintah bisa mencapai target penerimaan perpajakan tersebut.
Alasannya, kenaikan target perpajakan kali ini terlalu besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. "Tahun-tahun lalu, kenaikan target pajak hanya di bawah 20%, itu pun selalu gagal tercapai. Sekarang target pajak naik sekitar 40%, ini akan semakin sulit lagi," terang Darussalam.
Selain itu, Ditjen Pajak juga akan teradang sejumlah hambatan untuk meraih target itu. Hambatan utama adalah kapasitas pegawai pajak yang terbatas. Saat ini rasio jumlah pegawai pajak terhadap penduduk adalah 1:8.000. Artinya, satu pegawai harus menyasar 8.000 orang. Rasio ini dianggap tak sepadan.
Hambatan lainnya adalah faktor dari luar. Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan tertekan. Akibatnya, dunia usaha pun susah tumbuh dan setoran pajaknya pun sulit bertambah.
Toh, bukan berarti semuanya buntu. Menurut Darussalam, perluasan basis wajib pajak pribadi bisa menjadi jalan menggenjot pajak. Lagi pula, jumlah orang berpenghasilan tinggi non karyawan yang belum taat membayar PPh masih banyak.