Harian Kontan, 12 October 2015
JAKARTA. Statusmu, harimaumu! Istilah itu akan sangat cocok untuk menggambarkan kegemaran masyarakat menggunakan media sosial (social media) seperti Facebook, Twitter dan lain-lain. Sebab informasi yang diunggah di media sosial kini akan dimanfaatkan Ditjen Pajak untuk mengejar penerimaan negara.Sebelumnya, pekan lalu terdengar kabar melalui pesan berantai yang mempertanyakan sepak terjang Ditjen Pajak yang akan menggunakan informasi di media sosial demi menjaring data wajib pajak (WP).
Informasi dari media sosial itu kemudian di-crosscheck dengan rekening tabungan dan setoran pajak, yang didapat dari Bank Indonesia (BI). Jika tidak sinkron, WP akan dipanggil oleh Ditjen Pajak untuk mengklarifikasi.
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Mekar Satria Utama membenarkan kabar di pesan berantai itu.
Mekar mengakui, biasanya di media sosial terdapat data seputar anggota keluarga, kegiatan sosial, lokasi rumah, sekolah, dan bisnis, hingga liburan ke luar negeri. Data-data itu dapat menjadi salah satu pegangan otoritas pajak untuk mengetahui jumlah pajak yang seharusnya dibayar.
Ia mencontohkan, anggota keluarga salah satu WP yang menempuh pendidikan di luar negeri bisa mengindikasikan sumber penghasilan wajib pajak cukup tinggi, jika tanpa beasiswa. Selain itu, kepemilikan aset seperti mobil dan rumah mewah juga bisa diketahui dari jejaring sosial. "Lokasi liburan juga bisa menambah data di profil masing-masing wajib pajak," ujar Mekar ke KONTAN, Minggu (11/10).
Ditjen Pajak menggunakan semua jenis media sosial, seperti Facebook, Twitter, Lin-kedIn, Instagram, Google+ dan lainnya untuk menggali data potensi pajak. Pemberitaan media juga bisa menjadi sumber data lain untuk mengejar penerimaan pajak.
Upaya ini, menurut Mekar, sebenarnya sudah dilakukan sejak media sosial muncul. Namun, saat ini memang lebih ditingkatkan, seiring adanya Peraturan Menteri Keuangan PMK nomor 29/PMK.03/2015 dan PMK Nomor 91/PMK.03/2015.
Awas privasi terlanggar Cara ini ampuh untuk memperoleh data para WP. Hal ini tercermin dari kian meningkatnya jumlah surat himbauan dari para WP yang pelaporan pajaknya tidak sesuai dengan penghitungan petugas pajak.
Per Agustus 2015, jumlah surat himbauan pembenaran pajak meningkat sekitar 3,5 kali lipat dibandingkan periode yang sama 2014. "Sumber data tidak akan disebut di surat, tapi disampaikan pada saat konseling," kata Mekar.
Pengamat Pajak Universitas Pelita Harapan Ronny Bako mengatakan, otoritas fiskal ini harus berhati-hati jangan sampai upaya menggunakan media sosial dalam menggali data pajak bertentangan dengan hak privasi. "Ketika ada data diambil dari media sosial, itu masuk ranah privasi, dan bisa kena Undang-Undang ITE (Informasi dan transaksi elektronik)," ujarnya.
Oleh karena itu, Ditjen Pajak seharusnya lebih dulu memperkuat sumber sekunder selain data media sosial. Seperti bekerjasama dengan Ditjen Imigrasi atau otoritas pelabuhan. Ditjen pajak juga bisa memaksimalkan teknologi Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik.