Berita Pajak
Ditjen Pajak Harus Terpisah Dari Kemenkeu
analisadaily.com, 15 Juli 2014
Jakarta, (Analisa). Indonesia tidak memiliki pilihan lain selain menjadikan Ditjen Pajak sebagai lembaga independen, terlepas dari Kementerian Keuangan, untuk bisa mendorong penerimaan negara dari perpajakan.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual, mengatakan belakangan ini konsumsi masyarakat dan kinerja ekspor mengalami pelemahan, sementara investor relatif wait and see.
Sehingga Indonesia membutuhkan investasi jangka panjang (foreign direct investment) agar pertumbuhan ekonomi meningkat dan penerimaan negara dari perpajakan juga besar.
Akan tetapi, lanjutnya, untuk meningkatkan investasi langsung jangka panjang diperlukan kepastian politik. Namun terlepas dari itu, untuk meningkatkan penerimaan negara dari perpajakan, Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan ekspor yang selama ini bersumber dari sumber daya alam dan berbasis komoditas.
“Ke depan, Indonesia akan bergantung dengan pajak. Tidak lagi seperti sekarang dan sebelumnya yang bersumber dari sumber daya alam.
Jadi ini perlu perhatian pemerintah secara penuh supaya pengumpulan pajak bisa maksimal,” kata David saat dihubungi di Jakarta, Senin (14/7).
Dengan demikian, kata dia, Indonesia perlu menjadikan Ditjen Pajak sebagai lembaga independen, terpisah dari Kementerian Keuangan dan berada langsung di bawah presiden. Dengan begitu, kebijakan dan pelaksanaan menjadi terpisah, dan di banyak negara sudah menerapkan hal semacam itu.
“Kebijakan dan pelaksanaannya (pemungutan pajak) harus terpisah. Sekarang kan masih diatur oleh Kemenkeu. Di negara lain, pajak yang menjadi sumber pendapatan negara menjadi sangat penting, sehingga strukturnya berada di bawah presiden,” ujarnya.
David menyatakan, di Jepang dan Eropa maupun di negara-negara maju yang tergabung dalam OECD, umunya sudah menerapkan sistem itu. Dengan menjadi lembaga independen, jika menemukan kecurangan atau penggelapan pajak, mereka memiliki tool yang kuat karena berada di bawah presiden.
“Karena masih satu atap antara pembuat kebijakan dan pemungut pajak, maka ada potensi conflict of interest. Kalau diefektifkan, dari yang selama ini banyak kebocoran dan rendahnya pemungutan akan berkurang. Tetapi semua itu tergantung dari manusianya juga, sebab kalau sistemnya diubah, sementara orangnya tidak, ya susah,” tutur dia.
Dia menambahkan, untuk menjadikan Ditjen Pajak sebagai lembaga independen memang membutuhkan waktu, dan tidak bisa dilakukan saat ini. Sebab sistemnya belum terintegrasi, seperti KTP nasional yang belum siap, sehingga akan sulit dilakukan.
“Ini harus terintegrasi antara Kementerian Dalam Negeri dan lembaga pajak agar ketahuan pajak yang dilaporkan. Jadi sanksinya mungkin lebih tegas karena punya kewenangan penuh,” ungkap David.
Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank Himpunan Saudara Tbk, Rully Nova, juga menilai pentingnya memisahkan Ditjen Pajak menjadi lembaga tersendiri. Sebab efektivitas penerimaan pajak selama ini masih terhambat permasalahan birokrasi.
“Selama ini karena di bawah kementerian, efisiensinya tidak jalan. Harusnya memang bisa langsung ke presiden. Tidak harus melalui kementerian, sehingga efektivitasnya bisa terjamin. Birokrasi di kementerian kan rumit,” kata Rully.