Berita Pajak
INTENSIFIKASI PAJAK PROPERTI: Mengawasi Proyek Developer
m.bisnis.com, 30 Mei 2013
Ditjen Pajak menengarai ada penghindaran pajak properti senilai Rp30 triliun yang seharusnya masuk ke kas negara.Pajak properti sekurangnya ada empat macam yaitu pajak bumi dan bangun an (PBB) 0,5% dari NJOP, BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) dibayar pembeli sebesar 5% dari harga jual.
Pajak lain adalah pajak pertambahan nilai sebesar 10% harga jual dan pajak penghasilan penjualan pro perti yaitu 5% harga jual, serta pajak penjualan barang mewah. Banyak modus penghindaran pajak properti. Pertama, pelaporan transaksi menggunakan NJOP (nilai jual obyek pajak) sebagai dasar trans aksi. Harga pasaran properti umumnya di atas NJOP.
Jika penjual properti melaporkan harga transaksi yang sama dengan NJOP, maka ada selisih harga yang menyebabkan PPN dan PPh yang dibayar lebih kecil dari seharsunya. Kedua, developer atau penjual pro perti memang sengaja tidak melaporkan pajak transaksi properti. Bisa saja SSP (surat setoran pajak) PPh dipalsukan atau memang tidak ada SSP sama sekali, yang berarti tidak ada pembayaran pajak ke negara.
Sesuai aturan, setiap transaksi pro perti timbul pajak BPHTB bagi pembeli properti dan PPh bagi penjual, termasuk PPN jika penjual ada lah Pengusaha Kena Pajak. Sebelum 2011, Kantor Pajak memiliki mekanisme pengawasan pem ba yaran pajak properti, ketika SSB BPHTB pembeli dan SSP PPh penjual harus divalidasi kode NTPN (nomor tanda penerimaan negara) yang menunjukkan jumlah pajak yang dibayar.
Pada saat pembeli mengajukan sertifikat ke Badan Pertanahan Nasional, harus dilampiri salinan SSP BPHTB dan SSP PPh dengan cap validasi dari kantor pajak. Skema ini efektif mencegah pemal suan SSB BPHTB dan SSP PPh. Termasuk jika ada nilai transaksi yang berbeda dengan kondisi properti, akan dicek oleh petugas pajak, untuk menagih kekurangan BPHTB dan PPh yang belum dibayar bahkan PPN bagi penjual Pengusaha Kena Pajak. Namun meka nisme kontrol pajak properti mulai terhambat sejak berlakunya UU PDRD.
UU Pajak Daerah dan Retribusi Dae rah (UUPDRD) No.28/2009 menyebutkan PBB sektor pedesaan dan perkotaan diserahkan kepada Pemda. Transisi peralihan ini mulai 1 Januari 2011 sampai 31 Desember 2013. Selain itu, administrasi BPHTB juga beralih total ke Pemda mulai 1 Januari 2011. Peralihan BPHTB total sejak 2011, menyebabkan validasi SSP BPHTB atas transaksi properti dilakukan oleh Pemda sejak 2 Januari 2011.
Di banyak daerah, data BPHTB ini belum di-share oleh Pemda ke kantor pajak. Akibatnya mekanisme pengawasan pajak PPh dan PPN atas transaksi properti kurang efektif, karena mengandalkan data eksternal lainnya. Kantor Pajak juga tidak bisa memvalidasi SSP PPh transaksi penjualan properti karena data NJOP ada di Pemda.
Penurunan setoran PPh dan PPN juga diakibatkan tidak akuratnya NJOP yang banyak dipakai sebagai acuan pembayaran PPh dan PPN transaksi properti. Selama ini NJOP menjadi tolok ukur nilai pasar properti. Hal ini bermasalah karena tidak berjalannya updating data NJOP oleh Pemda yang mengelola PBB.
Akibatnya dasar transaksi properti untuk pelaporan PPh dan PPN masih menggunakan NJOP lama hasil pekerjaan Ditjen Pajak sehingga PPh dan PPN yang dibayar juga berkurang. Perlu disadari validasi SSB BPHTB dan SSP PPh menjadi pintu utama pengawasan pembayaran pajak properti, karena wajib pajak memerlukan validasi tersebut untuk pengajuan sertifikasi hak ke BPN.
Namun keluarnya Surat Edaran (SE) Kepala BPN Nomor 5/SE/IV/2013 merevisi aturan legalisasi BPHTB dan PPh transaksi properti. SE tersebut intinya bahwa agar pelayanan di bidang pertanahan tidak terhambat, maka tidak perlu ada pengecekan tanda bukti setoran pembayaran BPHTB pada kegiatan pendaftaran hak/peralihan hak atas tanah.
Para pemohon atau notaris Pe jabat Pembuat Akta Tanah cukup membuat pernya taan telah membayarkan setoran BPHTB ke kas daerah.
PROSES LAMBAN
SE No. 5/SE/IV/2013 muncul karena kelambanan proses validasi SSB BPHTB oleh Pemda sehingga muncul keluhan dari dan masyarakat dan notaris/PPAT yang terhambat pada proses sertifikasi tanah.
Dampak SE No. 5/SE/IV/2013 ini adalah kemungkinan pemalsuan SSB BPHTB karena legalisir bukti pembayaran BPHTB tidak menjadi syarat sertifikasi hak. Kalau SSB BPHTB dipalsukan, maka SSP PPh transaksi tanah juga akan dilanggar. Sesuai Peraturan Pemerintah No. 48/1994 dimana pejabat berwenang (pejabat BPN dan PPAT) baru boleh menandatangani akta/keputusan atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan, jika pemohon akta melampirkan salinan SSP PPh dan menun jukkan SSP PPh asli yang menunjukkan adanya pembayaran PPh atas pengalihan hak tanah dan bangunan.
PP ini juga mewajibkan pejabat berwenang untuk menyampaikan rekap laporan transaksi pengalihan hak tanah dan bangunan tiap bulan ke kantor pajak. Untuk meningkatkan pajak properti, Ditjen Pajak segera memeriksa developer properti untuk melihat ke wajiban perpajakannya. Ditjen Pajak juga bekerjasama dengan LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa) dalam rangka penggunaan foto satelit untuk pengawasan perpajakan.
Langkah maju ini salah satunya bermanfaat untuk pengawasan proyek developer dan PBB sektor P3 (per kebunan, perhutanan, pertambangan). Agar penerimaan pajak berlanjut, perlu adanya basis pajak (tax base) properti yang pasti dan kontinyu sehingga potensi pajak lainnya bisa di awasi seperti pajak atas penyewaan properti.
Selain itu, data properti juga untuk pengujian kepatuhan SPT pajak (tax compliance). Instrumen investasi ada tiga yaitu simpanan/tabungan, surat berharga/asuransi/saham dan properti. Dengan data properti ini, pengujian data SPT pajak melalui searching data aset properti milik wajib pajak lebih mudah.
Untuk mengelola data properti, ada beberapa opsi. Pertama, Pemda memberi data PBB dan SSB BPHTB secara kontinyu ke kantor pajak. Opsi ini cepat, namun terkendala Pasal 172 UU PDRD yang mengatur kewajiban pejabat untuk tidak memberitahukan data Wajib Pajak kepada pihak lain, kecuali hakim dan badan pemeriksa keuangan. Perlu uji materiil tentang peniadaan kewajiban kerahasiaan data untuk kepentingan pajak.
Kedua, pengelolaan PBB dan BPHTB dikembalikan ke kantor pajak, demi memudahkan pelayanan kepada wajib pajak dan kepentingan analisis data perpajakan secara umum. Opsi ini tidak bisa cepat dan mungkin akan menambah beban administrasi Ditjen Pajak karena ada 100 juta obyek pajak PBB yang harus diadministrasikan. Ketiga, membentuk Badan Pengelola PBB Nasional, yang melakukan land registration (pendaftaran tanah), land mapping (pemetaan tanah) dan land valuation (penilaian harga tanah).
Badan ini akan mengelola perubah an data subjek pajak dan objek pajak PBB termasuk menerbitkan SPPT PBB. Tinggal Pemda membuat peraturan daerah tarif PBB di daerah. Keempat, meminta BPN tetap mewajibkan notaris/PPAT dan pemohon untuk melegalisir salinan SSP PPh transaksi properti ke kantor pajak. Ini bentuk partisipasi stakeholder dalam rangka pemenuhan target APBN 2013.